taken from my journal. Tuesday, March 30, 2010 at 10:00pm
Mungkin aku telah sampai pada titik dimana aku tak lagi menantikan jelang hari pertambahan usiaku. Aku merasa seiring pengurangan umurku itu, hanya akan membuatku semakin sadar atas apa yang terenggut dari pertukaran masa kecilku dengan kedewasaan yang mengharuskan aku memerankan figur seorang tokoh – entah itu siapa- yang dari hari ke hari semakin tak terlihat seperti diriku, seolah diriku yang sesungguhnya semakin terperangkap dalam persembunyianya dibalik cermin. Bukankah kita memang seperti itu?? Kedewasaan menuntut kita untuk tidak egois, bahkan semakin mendekatkan diri kita pada kepalsuan. Sekarang aku lebih mirip dengan ‘si pendusta’ daripada diriku sendiri. Dan yang terburuk adalah ketika aku mulai membohongi diriku sendiri, ‘berkali-kali’, yang hitungannya masih jauh lebih banyak daripada kejujuran yang pernah kubisikan ke dalam hatiku. Bahkan pedih setiap kali kutertawa semakin terasa nyata, layaknya bumerang yang terpelanting kembali menghampiri jati diriku seraya bertanya, “apa yang sebenarnya kau tertawakan?”. Mungkin disaat seperti itulah, bagian dari diriku yang sebenarnya mulai menampakan sosoknya, sama seperti setiap kali aku menghampirinya di depan cermin, dan ia akan selalu mengulang jawaban yang sama, “aku menertawakan dusta”. Saat itulah, lagi-lagi pedih menjadi benar terasa ‘nyata’.
Aku mengenang saat-saat mereka masih menyayanyiku (bukan berarti sekarang mereka sudah tidak sayang, hanya saja mungkin kasih sayang mereka sudah semakin terbagi, dan aku hanya mendapat porsi kecil dari pembagian itu), saat-saat dimana aku merasa bahwa diriku adalah harta berharga mereka. Aku sangat suka setiap kali mereka memanjakanku, memperhatikanku. Dan aku ingat, masa itu sudah sangat lama tertinggal dimasa kecilku. Kadang aku merasa bahwa mereka lebih menyukai jati diriku yang sebenarnya, jati diri yang tak lebih dari watak egois khas anak seumuranku dimasa itu. Aku merasa itulah yang selalu bisa memberikan mereka alasan agar tetap jadikanku pusat perhatian mereka. Bahkan hal kecil tak berarti dariku mampu membuat mereka mengarak-arak namaku sambil terharu diatas kebanggaan mereka, seolah aku telah melakukan hal hebat, walaupun itu hanya sekedar kali pertama aku mampu berbicara, merangkak, atau bahkan berjalan. Aku rindu masa-masa itu, masa dimana aku begitu mudah membuat mereka menyebut kata ‘bangga’ atas namaku, aku rindu masa dimana aku tak pernah sendiri, tak takut terjatuh, karena aku tahu mata mereka selalu tertuju padaku dengan tangan-tangan yang selalu mengelilingiku, siap menangkapku kalau-kalau aku terjatuh.
Kini aku sudah lancar berbicara, perbendaharaan katakupun hampir tak terhingga dan akan terus menerus bertambah setiap menitnya. Aku sudah tak lagi merangkak. Aku berjalan, bahkan aku sesekali berlari. Tapi itu tak lagi jadikan diriku kebanggaan kalian. Tak lagi mampu mengalihkan perhatian kalian hanya untuk sekedar membuatku merasakan keberadaan kalian.
----------------------------------------------------------------------
Aku mengenang saat-saat mereka masih menyayanyiku (bukan berarti sekarang mereka sudah tidak sayang, hanya saja mungkin kasih sayang mereka sudah semakin terbagi, dan aku hanya mendapat porsi kecil dari pembagian itu), saat-saat dimana aku merasa bahwa diriku adalah harta berharga mereka. Aku sangat suka setiap kali mereka memanjakanku, memperhatikanku. Dan aku ingat, masa itu sudah sangat lama tertinggal dimasa kecilku. Kadang aku merasa bahwa mereka lebih menyukai jati diriku yang sebenarnya, jati diri yang tak lebih dari watak egois khas anak seumuranku dimasa itu. Aku merasa itulah yang selalu bisa memberikan mereka alasan agar tetap jadikanku pusat perhatian mereka. Bahkan hal kecil tak berarti dariku mampu membuat mereka mengarak-arak namaku sambil terharu diatas kebanggaan mereka, seolah aku telah melakukan hal hebat, walaupun itu hanya sekedar kali pertama aku mampu berbicara, merangkak, atau bahkan berjalan. Aku rindu masa-masa itu, masa dimana aku begitu mudah membuat mereka menyebut kata ‘bangga’ atas namaku, aku rindu masa dimana aku tak pernah sendiri, tak takut terjatuh, karena aku tahu mata mereka selalu tertuju padaku dengan tangan-tangan yang selalu mengelilingiku, siap menangkapku kalau-kalau aku terjatuh.
Kini aku sudah lancar berbicara, perbendaharaan katakupun hampir tak terhingga dan akan terus menerus bertambah setiap menitnya. Aku sudah tak lagi merangkak. Aku berjalan, bahkan aku sesekali berlari. Tapi itu tak lagi jadikan diriku kebanggaan kalian. Tak lagi mampu mengalihkan perhatian kalian hanya untuk sekedar membuatku merasakan keberadaan kalian.
----------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment