ABOUT

ABOUT

Thursday, November 29, 2012

Angin




Aku sangat menyukai hujan. Dibawahnya, aku terlindung dari kebasahan yang mengalir perih tiap kali meyerukan namamu.


“Hujan deres, Nak. Masuk sini, berteduh dulu!”, teriak seorang kakek tua di sebuah warung yang letaknya tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku menghampiri kakek itu seraya memendarkan senyum selebar mungkin seolah pelangi jatuh diwajahku. Kuperlambat langkahku. Bukan karena enggan, tapi aku harus berupaya keras menahan air mata yang melebur bersama butiran hujan ini sebelum pijakan kakiku sampai disana.

Tampak seorang gadis kecil duduk di kursi plastik berwarna merah, termenung menatap tumpahan bejana langit. Matanya menerawang hampir tak berkedip. Kududuki kursi kosong tepat disampingnya.

“Hey, nama kamu siapa?”, sapaku.

Ia tak bergeming. Pandangannya masih terpaku pada titik yang sama.

“Suka ya ngeliat hujan?”, kataku membungkukan tubuh ke arahnya. “Kamu tau asal mula hujan? Kenapa langit bisa turun hujan?”.

Ia menggeleng. Ada serangkaian tanya pada binar matanya saat menatapku.

“Mau aku ceritain tentang hujan?”, aku tersenyum mengulurkan tangan berisikan setumpuk permen yang kurogoh dari kantung jaket.

Ia mengangguk, mengambil permen berbungkus emas dan memasukannya ke mulut sambil mendengar ceritaku tentang asal muasal hujan.



Jauh sebelum hari ini, ada sebuah negeri yang dikenal dengan nama negeri seribu matahari. Bukan karena negeri tersebut memiliki matahari yang jumlahnya ribuan. Namun, langit selalu benderang di negeri tersebut, bahkan sekalipun atap bumi berganti hamparan gemintang dan bulan.

Adalah setangkai bunga dandelion yang selalu memendarkan canda hingga langit selalu berpijar.

Kamu tahu Dandelion?

Dandelion adalah tumbuhan yang berasal dari sisa-sisa harap yang terbang membelah langit untuk mencari pijakan dimana ia bisa kembali memulai kehidupan. Tumbuh hingga tangkai hijaunya dapat kembali berdiri, membuat sang langit tak menyadari bahwa dandelion adalah yang terapuh diantara semua bunga sekalipun hanya ia yang berani menjulang angkuh di tanah tandus.

Suatu ketika, langit mendapati bunga-bunga kecil sewarna awan bermekaran pada tangkai dandelion.

“Apa yang membuatmu begitu berbunga-bunga?”, tanya sang langit.

Dengan senyum merekah dandelion berbisik, “Pria bernama angin telah meniupkan ruh-ruh kehidupan pada tiap kelopak harap yang tumbuh bermekaran ini. Dan aku tak tahu apa nama perasaan ini. Yang aku tahu, pagi ini aku begitu bahagia. Angin membuatku merasa terlahir baru.”

Sekejap langit meraba ingatan atas apa yang tertangkap jangkauan pengelihatannya yang maha luas. Membuka tiap helai kenangan tentang kebersamaan dandelion dan pria bernama angin itu. Tak perlu waktu lama untuk membuat Langit sadar bahwa apa yang saat ini dandelion rasakan adalah, cinta.

“Cinta,” kata Langit tersenyum.

“Cinta?,” dandelion berusaha menerjemahkan perasaannya tentang Angin.

“Apa hatimu berdesir saat ia didekatmu? Apakah kamu merasa resah hingga memuncak saat kamu tidak mendapatkan kabar darinya? Apakah ia bisa menggetarkan perasaanmu saat mulutmu menjadi sarang bagi awan-awan basah tiap kali kalian bercumbu? Karena jika iya, itu adalah cinta.”

Dalam diam dandelion mulai menyadari bahwa selama ini ia sudah merangkai mimpi-mimpi kecil untuk hidup bersama angin untuk sepanjang sisa hidupnya.

Yaa...Dandelion sedang jatuh cinta.

Saat jatuh cinta, siapa saja yang merasakannya akan mendapati perasaan bahagia yang tak terjabarkan. Namun, sama seperti namanya, jatuh..cinta, terkadang rasa yang tercipta tak jarang membuat yang dilandanya bisa benar-benar dibuat jatuh.

“Aku jatuh cinta padamu, Angin,”untuk kesekian kalinya dandelion berusaha meyakinkan Angin bahwa apa yang dirasakannya bukan sekedar canda.

Dan lagi-lagi Angin hanya menjawabnya dengan tawa seperti biasa.

Kali ini dandelion menunduk. Kelopak-kelopak harap yang bergelantungan pada bunga-bunga kecil dipucuknya mulai gontai, hingga membuat senyawa kimia sejenis minyak aromatik menetes dari matanya.

“Aku tahu kamu mencintaiku,”Angin membelai lembut dandelion, menyapu perlahan air mata yang semakin bercucuran hebat. “Bukannya aku tidak menyadarinya. Aku hanya takut membuatmu kecewa,”angin mengecup dandelion untuk terakhir kalinya.

Pria itu pergi.

Sejak hari itu, layaknya bunga-bunga kecil pada pucuk dandelion yang terbang dan menghilang ditiup angin, cahaya canda yang menyinari negeri seribu matahari meredup. Merubah birunya langit menjadi kelabu, menghitamkan awan hingga langit ikut menangis, tiap kali dandelion menyerukan rindu atas kepergian angin, yang kemudian disebut dengan hujan.

Terkadang saat rindunya akan Angin tak lagi terbendung, dandelion menyanyikan senandung rintih melalui bulir tangis. Derai air mata itu kemudian menjelma menjadi senyawa kimia sejenis minyak aromatik yang membasahi permukaan tanah dan bebatuan. Membiarkannya menyatu bersama tetesan air hujan hingga terlepas gas ke udara. Gas yang menyeruak itu kemudian berterbangan memenuhi udara, berharap pesan rindunya akan sampai pada angin. Karena itu terkadang saat hujan kita sering kali menyium aroma khas yang biasa disebut dengan petrichor.

Mungkin karena itu pula, di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang merindu.



“Jadi siapa namamu?,” tanyaku mencubit lembut pipi anak kecil dihadapanku.

“Namanya, Angel , tante,”tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari belakang. “Maaf, anak saya tunawicara,” bisik wanita itu. Senyum.

“Ayo Angel, kita pulang. Ujannya udah reda,” lanjutnya. “Mari Mbak, duluan.”

Selembut sentuhan malaikat yang menenangkan, Angel merangkul kehampaanku dengan kecupan dipipi.  Ia memberikan secarik kertas yang ditulisnya sesaat sebelum pulang. Aku membukanya dalam perjalanan di dalam bus.

“Bilangin ke hujan yah tante, Angel kangen banget sama papah di surga.”

“Hujan... sampaikan juga rinduku pada Angin. Bayu,”hatiku lirih.



-Adr.





Kita tak akan pernah tahu kemana arah mata angin berhembus. Namun saat angin itu menyapu keningmu dengan kecupnya, debu-debu harap yang pernah mati akan kembali meresapi pori-pori, hinggap dikepala dan menjelma menjadi harapan baru bernama, Cinta.

Namun, layaknya angin yang tercipta untuk terus berhembus mencari arah, tak ada daya apapun yang sanggup menahannya pergi. Pada akhirnya kepadanyalah ia berhembus, pulang.

**

Hari ini, angin menerbangkan semua harap tanpa pernah tahu betapa dalam rasa yang telah ia tinggalkan. Saat mata menggenang, aku tahu ini bukan sekedar canda.





****

Kemarin.

Aku begitu bersemangat hari ini. Ada debaran maha dashyat yang memecut dopamineku hingga aku cukup gila untuk mengabaikan hujan dan sakit di angkle kakiku akibat terkilir pagi tadi. Yaa..aku menerjang hujan, menelusuri trotoar sepanjang jalan menuju daerah Cilandak hanya untuk satu alasan yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal untuk orang sepertiku yang biasa dikejar. Aku tak tahu kenapa aku sebersikeras ini.

Dibawah rintikan hujan aku kembali menunggu taksi lain, karena taksi sebelumnya ternyata sama gilanya untuk menurunkanku dipertengahan jalan. Sial yang belum cukup hebat untuk membangunkan amarah, karena kebahagiaan berwujud rindu terlalu tangguh menidurkannya dengan senyum yang terus menghiasi bibir.

Setengahnya aku menyesal kenapa hari ini aku lebih memilih wedges dibanding flat shoes, kalau ternyata rasanya bisa sesakit tulang yang dikuliti dengan pisau tumpul. Dan seharusnya aku mengikuti saran ibuku untuk membawa payung kecil.

“Bayu..,”hembusan angin yang membelai hijabku seperti berbisik menyebut nama pria yang akan kutemui nanti.

Aku tak pernah tahu apa yang menarik dari pria itu. Namun pastinya ia benar-benar istimewa karena berhasil membuat perhatianku tercurah penuh padanya. Membuat pria-pria yang berbaris dan berlari itu menjadi tak terlihat sebelum mereka berhasil mencapai garis finish.  

Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan siapa akhir pencarianku, karena aku segera tahu gaun putih seperti apa yang ingin kukenakan nanti, saat aku bertemu dengan pria yang beberapa hari ini memenuhi isi kepalaku.

Kupu-kupu mimpi mengepakan sayapnya, menerbangkan imajiku sambil diam-diam melukiskan mimpi hidup bersama.

Akh...sepertinya aku benar sudah gila.


**

Langit masih menabuh hujan saat kami sampai di sebuah resto sekitar Kemang, resto favorite-nya.

Tuhan..apa yang ada dipikiranku, membiarkan orang asing membawaku pergi sejauh ini sementara malam sudah cukup larut.

Namun, segurat harap berkata pada hatiku untuk percaya bahwa pria ini tidak akan mematahkannya ataupun membuatnya hancur berkeping.

Aku suka melihat ekspresi pria itu tiap kali ia mencari-cari jawab arti pandangan dan senyumku yang tertuju padanya.

“Kenapa sih, ngeliatnya begitu banget? Udah ah..jangan begitu ngeliatnya. Biasa aja,”kata pria itu dengan senyum yang sulit ia tahan.

Bukannya menjawab, aku malah menikamnya dengan sorot mata yang menyelami dalamnya perasaanku padanya, kemudian berbalik tanya,“Bee..pacaran yuk. Mau nggak?.”

Tuhan..apa yang kupikirkan.

“Lho kok kamu yang nyatain sih,” ia setengah terkejut. “Kamu bercanda kan??”.

Aku serius.

Namun aku malah memilih menemaninya tertawa,“Hahaha...iyalah bercanda.”

“Aku nggak bisa bedain kapan kamu bercanda dan kapan kamu serius.”

Kemudian kami tertawa bersama.


**

Rindu menjadi candu saat waktu mengepung dua tubuh disatu ruang. Aku membiarkan bibirnya melakukan apa yang sayap dapat lakukan kepada angin. Aku suka aroma tubuhnya. Seperti aroma hutan belantara di pagi hari. Kami bercumbu seperti berkelahi dengan angin, sementara awan-awan basah bergulat dibalik bibir. Aku sempat hilang sesaat bagai lenyap tertelan, saat tanpa sadar melantunkan desah-desah kecil serupa lembar buku yang dibolak-balik perlahan. Dalam ciumannya, aku rebah dibawah debar-debar jantung.

“Yuk, pulang,”kataku.

“Sekarang?”

Tidak. Aku masih ingin bersamamu, Bee.

“Iya. Udah jam segini. Harus pulang. Prinsip,”aku berusaha terdengar tegas sementara gesture tubuhku berkata sebaliknya.

Aku memberikan kecupan terakhir padanya. Detik itu, aku tahu semuanya tak lagi sama.


**

Hari ini.

Aku seperti kembali terlahir, sampai-sampai kebahagiaan tanpa henti menarik bibirku dengan angkuhnya. Aku tidak bisa berhenti senyum, meskipun tak tahu pasti apakah ini jatuh cinta atau bukan, sampai akhirnya rasa ingin tahuku yang terlampau pintar membuka tabir kebungkaman pria itu yang membuat lututku lemas seketika. Kenyataannya aku bukanlah yang satu-satunya. Dari genangan dimataku, aku tahu, ini jatuh cinta, karena hati dibuat hancur berkeping.


Pada akhirnya, Angin menerbangkan kelopak-kelopak harap yang bermekaran pada tangkai bunga dandelion.


Adr.



No comments:

Post a Comment