Aku sangat menyukai hujan. Dibawahnya, aku
terlindung dari kebasahan yang mengalir perih tiap kali meyerukan namamu.
“Hujan deres, Nak. Masuk sini,
berteduh dulu!”, teriak seorang kakek tua di sebuah warung yang letaknya tak
jauh dari tempatku berdiri.
Aku menghampiri kakek itu seraya memendarkan
senyum selebar mungkin seolah pelangi jatuh diwajahku. Kuperlambat langkahku.
Bukan karena enggan, tapi aku harus berupaya keras menahan air mata yang
melebur bersama butiran hujan ini sebelum pijakan kakiku sampai disana.
Tampak seorang gadis kecil duduk di
kursi plastik berwarna merah, termenung menatap tumpahan bejana langit. Matanya
menerawang hampir tak berkedip. Kududuki kursi kosong tepat disampingnya.
“Hey, nama kamu siapa?”, sapaku.
Ia tak bergeming. Pandangannya masih
terpaku pada titik yang sama.
“Suka ya ngeliat hujan?”, kataku
membungkukan tubuh ke arahnya. “Kamu tau asal mula hujan? Kenapa langit bisa
turun hujan?”.
Ia menggeleng. Ada serangkaian tanya
pada binar matanya saat menatapku.
“Mau aku ceritain tentang hujan?”,
aku tersenyum mengulurkan tangan berisikan setumpuk permen yang kurogoh dari
kantung jaket.
Ia mengangguk, mengambil permen
berbungkus emas dan memasukannya ke mulut sambil mendengar ceritaku tentang
asal muasal hujan.
Jauh sebelum hari ini,
ada sebuah negeri yang dikenal dengan nama negeri seribu matahari. Bukan karena
negeri tersebut memiliki matahari yang jumlahnya ribuan. Namun, langit selalu
benderang di negeri tersebut, bahkan sekalipun atap bumi berganti hamparan gemintang
dan bulan.
Adalah setangkai bunga
dandelion yang selalu memendarkan canda hingga langit selalu berpijar.
Kamu tahu Dandelion?
Dandelion adalah
tumbuhan yang berasal dari sisa-sisa harap yang terbang membelah langit untuk
mencari pijakan dimana ia bisa kembali memulai kehidupan. Tumbuh hingga tangkai
hijaunya dapat kembali berdiri, membuat sang langit tak menyadari bahwa
dandelion adalah yang terapuh diantara semua bunga sekalipun hanya ia yang berani
menjulang angkuh di tanah tandus.
Suatu ketika, langit mendapati
bunga-bunga kecil sewarna awan bermekaran pada tangkai dandelion.
“Apa yang membuatmu
begitu berbunga-bunga?”, tanya sang langit.
Dengan senyum merekah
dandelion berbisik, “Pria bernama angin telah meniupkan ruh-ruh kehidupan pada
tiap kelopak harap yang tumbuh bermekaran ini. Dan aku tak tahu apa nama
perasaan ini. Yang aku tahu, pagi ini aku begitu bahagia. Angin membuatku
merasa terlahir baru.”
Sekejap langit meraba
ingatan atas apa yang tertangkap jangkauan pengelihatannya yang maha luas.
Membuka tiap helai kenangan tentang kebersamaan dandelion dan pria bernama
angin itu. Tak perlu waktu lama untuk membuat Langit sadar bahwa apa yang saat
ini dandelion rasakan adalah, cinta.
“Cinta,” kata Langit
tersenyum.
“Cinta?,” dandelion
berusaha menerjemahkan perasaannya tentang Angin.
“Apa hatimu berdesir
saat ia didekatmu? Apakah kamu merasa resah hingga memuncak saat kamu tidak
mendapatkan kabar darinya? Apakah ia bisa menggetarkan perasaanmu saat mulutmu
menjadi sarang bagi awan-awan basah tiap kali kalian bercumbu? Karena jika iya,
itu adalah cinta.”
Dalam diam dandelion
mulai menyadari bahwa selama ini ia sudah merangkai mimpi-mimpi kecil untuk
hidup bersama angin untuk sepanjang sisa hidupnya.
Yaa...Dandelion sedang jatuh
cinta.
Saat jatuh cinta, siapa
saja yang merasakannya akan mendapati perasaan bahagia yang tak terjabarkan.
Namun, sama seperti namanya, jatuh..cinta, terkadang rasa yang tercipta tak
jarang membuat yang dilandanya bisa benar-benar dibuat jatuh.
“Aku jatuh cinta
padamu, Angin,”untuk kesekian kalinya dandelion berusaha meyakinkan Angin bahwa
apa yang dirasakannya bukan sekedar canda.
Dan lagi-lagi Angin
hanya menjawabnya dengan tawa seperti biasa.
Kali ini dandelion
menunduk. Kelopak-kelopak harap yang bergelantungan pada bunga-bunga kecil
dipucuknya mulai gontai, hingga membuat senyawa kimia sejenis minyak aromatik
menetes dari matanya.
“Aku tahu kamu
mencintaiku,”Angin membelai lembut dandelion, menyapu perlahan air mata yang
semakin bercucuran hebat. “Bukannya aku tidak menyadarinya. Aku hanya takut
membuatmu kecewa,”angin mengecup dandelion untuk terakhir kalinya.
Pria itu pergi.
Sejak hari itu,
layaknya bunga-bunga kecil pada pucuk dandelion yang terbang dan menghilang
ditiup angin, cahaya canda yang menyinari negeri seribu matahari meredup.
Merubah birunya langit menjadi kelabu, menghitamkan awan hingga langit ikut
menangis, tiap kali dandelion menyerukan rindu atas kepergian angin, yang
kemudian disebut dengan hujan.
Terkadang saat rindunya
akan Angin tak lagi terbendung, dandelion menyanyikan senandung rintih melalui
bulir tangis. Derai air mata itu kemudian menjelma menjadi senyawa kimia
sejenis minyak aromatik yang membasahi permukaan tanah dan bebatuan. Membiarkannya
menyatu bersama tetesan air hujan hingga terlepas gas ke udara. Gas yang
menyeruak itu kemudian berterbangan memenuhi udara, berharap pesan rindunya akan
sampai pada angin. Karena itu terkadang saat hujan kita sering kali menyium
aroma khas yang biasa disebut dengan petrichor.
Mungkin karena itu pula,
di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang merindu.
“Jadi
siapa namamu?,” tanyaku mencubit lembut pipi anak kecil dihadapanku.
“Namanya,
Angel , tante,”tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari belakang. “Maaf,
anak saya tunawicara,” bisik wanita itu. Senyum.
“Ayo
Angel, kita pulang. Ujannya udah reda,” lanjutnya. “Mari Mbak, duluan.”
Selembut
sentuhan malaikat yang menenangkan, Angel merangkul kehampaanku dengan kecupan
dipipi. Ia memberikan secarik kertas
yang ditulisnya sesaat sebelum pulang. Aku membukanya dalam perjalanan di dalam
bus.
“Bilangin
ke hujan yah tante, Angel kangen banget sama papah di surga.”
“Hujan...
sampaikan juga rinduku pada Angin. Bayu,”hatiku lirih.
-Adr.
Kita tak akan pernah tahu kemana arah mata angin berhembus. Namun saat
angin itu menyapu keningmu dengan kecupnya, debu-debu harap yang pernah mati akan
kembali meresapi pori-pori, hinggap dikepala dan menjelma menjadi harapan baru
bernama, Cinta.
Namun, layaknya angin yang tercipta
untuk terus berhembus mencari arah, tak ada daya apapun yang sanggup menahannya
pergi. Pada akhirnya kepadanyalah ia berhembus, pulang.
**
Hari ini, angin menerbangkan
semua harap tanpa pernah tahu betapa dalam rasa yang telah ia tinggalkan. Saat mata menggenang, aku tahu ini
bukan sekedar canda.
****
Kemarin.
Aku begitu bersemangat hari
ini. Ada debaran maha dashyat yang memecut dopamineku hingga aku cukup gila
untuk mengabaikan hujan dan sakit di angkle kakiku akibat terkilir pagi tadi. Yaa..aku
menerjang hujan, menelusuri trotoar sepanjang jalan menuju daerah Cilandak hanya untuk satu alasan yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal untuk orang
sepertiku yang biasa dikejar. Aku tak tahu kenapa aku sebersikeras ini.
Dibawah rintikan hujan aku
kembali menunggu taksi lain, karena taksi sebelumnya ternyata sama gilanya untuk
menurunkanku dipertengahan jalan. Sial yang belum cukup hebat untuk
membangunkan amarah, karena kebahagiaan berwujud rindu terlalu tangguh
menidurkannya dengan senyum yang terus menghiasi bibir.
Setengahnya aku menyesal
kenapa hari ini aku lebih memilih wedges dibanding flat shoes, kalau ternyata
rasanya bisa sesakit tulang yang dikuliti dengan pisau tumpul. Dan seharusnya
aku mengikuti saran ibuku untuk membawa payung kecil.
“Bayu..,”hembusan angin
yang membelai hijabku seperti berbisik menyebut nama pria yang akan kutemui
nanti.
Aku tak pernah tahu apa
yang menarik dari pria itu. Namun pastinya ia benar-benar istimewa karena berhasil
membuat perhatianku tercurah penuh padanya. Membuat pria-pria yang berbaris dan
berlari itu menjadi tak terlihat sebelum mereka berhasil mencapai garis finish.
Tak butuh waktu lama bagiku
untuk memastikan siapa akhir pencarianku, karena aku segera tahu gaun putih
seperti apa yang ingin kukenakan nanti, saat aku bertemu dengan pria yang
beberapa hari ini memenuhi isi kepalaku.
Kupu-kupu mimpi mengepakan
sayapnya, menerbangkan imajiku sambil diam-diam melukiskan mimpi hidup bersama.
Akh...sepertinya aku benar sudah gila.
**
Langit masih menabuh hujan
saat kami sampai di sebuah resto sekitar Kemang, resto favorite-nya.
Tuhan..apa yang ada dipikiranku, membiarkan orang
asing membawaku pergi sejauh ini sementara malam sudah cukup larut.
Namun, segurat harap
berkata pada hatiku untuk percaya bahwa pria ini tidak akan mematahkannya
ataupun membuatnya hancur berkeping.
Aku suka melihat ekspresi pria
itu tiap kali ia mencari-cari jawab arti pandangan dan senyumku yang tertuju
padanya.
“Kenapa sih, ngeliatnya
begitu banget? Udah ah..jangan begitu ngeliatnya. Biasa aja,”kata pria itu dengan
senyum yang sulit ia tahan.
Bukannya menjawab, aku
malah menikamnya dengan sorot mata yang menyelami dalamnya perasaanku padanya,
kemudian berbalik tanya,“Bee..pacaran yuk. Mau nggak?.”
Tuhan..apa yang kupikirkan.
“Lho kok kamu yang nyatain
sih,” ia setengah terkejut. “Kamu bercanda kan??”.
Aku serius.
Namun aku malah memilih
menemaninya tertawa,“Hahaha...iyalah bercanda.”
“Aku nggak bisa bedain
kapan kamu bercanda dan kapan kamu serius.”
Kemudian kami tertawa
bersama.
**
Rindu menjadi candu saat
waktu mengepung dua tubuh disatu ruang. Aku membiarkan bibirnya melakukan apa
yang sayap dapat lakukan kepada angin. Aku suka aroma tubuhnya. Seperti aroma hutan
belantara di pagi hari. Kami bercumbu seperti berkelahi dengan angin, sementara
awan-awan basah bergulat dibalik bibir. Aku sempat hilang sesaat bagai lenyap tertelan,
saat tanpa sadar melantunkan desah-desah kecil serupa lembar buku yang
dibolak-balik perlahan. Dalam ciumannya, aku rebah dibawah debar-debar jantung.
“Yuk, pulang,”kataku.
“Sekarang?”
Tidak. Aku masih ingin bersamamu, Bee.
“Iya. Udah jam segini.
Harus pulang. Prinsip,”aku berusaha terdengar tegas sementara gesture tubuhku
berkata sebaliknya.
Aku memberikan kecupan
terakhir padanya. Detik itu, aku tahu semuanya tak lagi sama.
**
Hari ini.
Aku seperti kembali
terlahir, sampai-sampai kebahagiaan tanpa henti menarik bibirku dengan
angkuhnya. Aku tidak bisa berhenti senyum, meskipun tak tahu pasti apakah ini
jatuh cinta atau bukan, sampai akhirnya rasa ingin tahuku yang terlampau pintar
membuka tabir kebungkaman pria itu yang membuat lututku lemas seketika. Kenyataannya aku bukanlah yang satu-satunya. Dari
genangan dimataku, aku tahu, ini jatuh cinta, karena hati dibuat hancur
berkeping.
Pada akhirnya, Angin menerbangkan
kelopak-kelopak harap yang bermekaran pada tangkai bunga dandelion.
Adr.
No comments:
Post a Comment