ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch,1 (TEORI BUNGA MAWAR)

Kertas Lecek Rara.. Chapter I
(karya tulis gue buat lomba kemaren *LOL)

1
“Teori Bunga Mawar”

Dia hanya tidur dua jam, kemarin. Tidur jam tiga pagi, bangun jam lima. Sudah dua hari ia seperti itu. Selembar foto ditangannya. “Satya….”

***

Tiga hari yang lalu, ia memutuskan untuk bertemu dengan pria yang dikasihinya di sebuah restoran itali. Tempat kali pertama sang pria menyatakan cinta setengah tahun yang lalu. Ia begitu senang saat Satya menghubunginya melalui telepon, mengajaknya pergi makan malam di tempat penuh kenangan itu. Begitu senangnya ia, hingga melompat-lompat, berteriak histeris dengan senyum lebar diwajahnya. Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Hingga rahang terasa keram. Ia begitu senang. Pria yang dicintainya mengajaknya dinner.
Sebenarnya ajakan dinner bukanlah hal yang istimewa dan sepertinya ekspresi itu cukup berlebihan. Toh hanya ajakan dinner. Pasangan itu bahkan telah melewati puluhan dinner. Namun hal itu kemudian menjadi lumrah mengingat dua bulan terakhir ini ia harus menahan bejana rindu akibat LDR (long distance relationship), sejak pria itu harus kembali melanjutkan study-nya diluar kota. Jadi bisa dibilang ini adalah pertemuan pertama mereka setelah dua bulan terpisah jarak.
Begitu bersemangatnya ia hingga lebih memilih berlari, untuk sampai ke ruang berukuran 7x4 meter dengan lempengan stainless steel bertuliskan ‘TOILET’ didepan pintunya, itu. Pemilik rumah sebelumnya pastinya punya alasan khusus kenapa mereka memaku mati tulisan bodoh itu disalah satu ruang terbaik mereka yang bahkan tidak terdapat bak mandi, bathtub, keran air, shower, sikat gigi dan perabot kamar mandi lain didalamnya. Lagipula kamar mandi macam apa yang memiliki jendela tembus pandang setinggi hampir dua meter dengan balkon menghadap taman.
Sepuluh menit lemari itu dibuka, sepuluh menit itu pula ia masih berdiri disana menghentak-hentakan kaki, memutuskan pakaian terbaik mana yang akan dikenakannya untuk dinner. Saat-saat seperti itulah nama perancang, merek, dan harga pakaian menjadi saru. Pakaian limited edition-special order terlihat seragam dengan yang berbandrol discount. Bukan karena kualitas yang tidak bisa dibedakan, tetapi mengkrucutkan pilihan menjadi kian sulit jika dihadapkan dengan hal yang terlalu beragam. 
Bingung. Satu kata itu terus berlarian diotaknya. Jika satu kata itu adalah atlet sprinter, mungkin saat itu namanya sudah tercatat dalam guiness book of record sebagai penghargaan karena sudah se-jam lebih berlari tanpa henti. Ya.. sudah lewat satu jam dan ia masih saja belum memutuskan pakaian mana yang akan dikenakan. Ia ingin terlihat secantik mungkin. Bila perlu, ia ingin menjadi satu-satunya wanita tercantik malam itu, yang mampu membuat pandangan mata Satya tak henti mengagumi kecantikannya.


“Neng geulis, Satya tos ngantosan ti tadi tuh! Unggal atuh meni lami dangdos teh!”, terdengar suara teriakan dengan logat sunda dari bawah.
“Iya, Mah! Ini juga udah selesai kok..”, jawabnya, bergegas menuruni tangga kayu.
“Maaf yah, lama..hehe”, kata wanita itu begitu langkahnya sampai di ruang tamu, dimana Satya sedang duduk menunggunya disana. Pandangannya masih tertunduk. Rambutnya yang tergerai panjang dibiarkan jatuh ke bawah seraya memasang high heels merah ke kaki kanannya. Warnanya tampak senada dengan gaun backless berbahan beludru yang ia kenakan.
Ia pernah mengenakan gaun itu sebelumnya. Kencan pertama, enam bulan yang lalu. Malam yang sama saat Satya mengucap cinta hingga akhirnya mereka sepakat untuk menjalin ikatan. Gaun merah itupun menambah value-nya dan punya tempat khusus dihati wanita itu. Mungkin itu salah satu alasan kenapa gaun itu yang dijadikan pilihan, akhirnya. Ia ingin membangkitkan masa-masa manis itu bersama Satya.


Ia sudah bisa membayangkan kata-kata pujian apa yang akan diucapkan Satya saat melihat penampilannya yang memukau malam itu. Berjam-jam ia habiskan untuk membuat dirinya terlihat secantik mungkin, hanya untuk mendengar kata pujian dari Satya. Dan benar. Ia tampak begitu cantik. Luar biasa cantik.
“Ka…Kam..Kamu kok pake ka..kaos doang! Dan…sandal jepit??”, tiba-tiba tersadar akan penampilan Satya.
Bukan Satya namanya kalau tidak terlihat perlente. Satya adalah tipe pria metropolis yang benar-benar memperhatikan penampilan. Ia bahkan tahu benar restoran yang akan mereka datangi nanti sudah dilengkapi dengan detector berseragam yang selalu siap siaga memagari pintu masuk, menendang jauh-jauh para casual lover dan the sandal jepit-ers yang mencoba menerobos masuk.
“Kita dinner di tempat biasa kan?“
“Iya.”
Wanita itu kemudian menunjuk-nunjuk sandal jepit yang Satya kenakan sebagai isyarat teguran.
“Aku bawa ganti di mobil.”
“Oh…kirain.”


Ayo…Satya! Puji aku..bilang aku cantik!!, mohonnya dalam hati. Kenapa mendadak  jadi deg-degan begini sih! Pasti sebentar lagi Satya akan berjalan ke arahku, mendekatkan wajahnya ke wajahku, berbisik ke telingaku dan bilang kalau aku  malam ini caaannnntiiiikk sekali! Hahahaa….Ayo…Satya, keluarkan pujian mautmu, sayang…!! Aku menunggu.., wanita itu masih tersenyum malu-malu menunggu pujian yang akan keluar dari mulut Satya.
“Gak ada baju lain apa! Ganti gih!”
Sesaat, rasanya Jakarta mendadak berubah menjadi Alaska, menyulap wanita itu menjadi patung es. Lalu dalam seketika sebuah bongkahan batu seberat satu ton dijatuhkan. Bobot yang cukup untuk membuatnya hancur berkeping-keping. Ucapan Satya yang benar-benar diluar dugaan membuat senyum wanita itu lenyap seketika. What!! Berjam-jam gue abisin waktu, mati-matian supaya gue keliatan cantik dan setelah semua hal yang udah gue lakuin, cuma itu respon yang gue dapet!! ‘disuruh ganti’? What!
“Ya..ya udah, kalo gitu aku gan..ganti baju dulu yah”, ucap lemas wanita itu. Ia masih tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Padahal ia sudah menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk mendapatkan satu kata itu. Cantik.
“Ah, nggak usah deh! Kita langsung berangkat aja, daripada nanti tambah kemaleman!”, putus Satya tiba-tiba sambil memperhatikan arloji ditangannya.

***

Hujan masih deras, saat sepasang kekasih itu telah sampai dipintu restoran. Satya terlihat lebih rapi dengan blouse oxfort coklat dan alas kaki yang membuat jari-jari kakinya tidak lagi terlihat telanjang. Wanita itu memandang keluar, tampak kecewa. Ia menyayangkan kesempatan yang telah ia lewatkan untuk duduk di meja favoritnya. Meja nomor tujuh.
Banyak hal yang membuatnya jatuh cinta pada meja yang satu itu. Mulai dari meja itu dinomori dengan angka tujuh. Tujuh adalah angka kesukaannya. Ia yakin angka tujuh adalah angka keberuntungan baginya. Meja itu adalah meja paling sempurna untuk mengagumi malam. Jakarta terlihat bagai butiran-butiran cahaya yang menyebar padat dari atas sana. Sayang meja itu tidak dilengkapi dengan atap, sehingga para penikmat outdoor sepertinya tidak bisa menjamu mata dengan pemandangan lampu-lampu Jakarta yang bertumbukan menyerupai pola polkadot merah, kuning, dan jingga. Namun point terpenting dari semua itu adalah karena meja tersebut merupakan saksi bisu awal hubungan pasangan itu. Di meja itulah Satya menyatakan maksudnya pada sang wanita, untuk menjadikannya sebagai kekasih.


“Kamu mau makan apa?”, tanya sang wanita sambil membalik-balikan halaman pada buku menu. Bola matanya naik turun menjelajahi daftar menu sambil menerka-nerka apa yang sedang ingin ia makan. Kemudian ia berhenti pada halaman ketiga buku menu. Ia pandang Satya. Tersenyum. Manis sekali. “Bodoh yah, aku! Sampai bisa lupa satu hal itu! Kita kan selalu memesan makanan yang sama setiap kali kesini! Makanan favorit kamu! Favorit aku! Favorit kita!”
Waitress!!”, wanita itu mengangkat sebelah tangannya. Menyentikkan jari ke arah salah seorang pelayan berseragam hitam putih yang berdiri sekitar dua meja dari mejanya. “Saya pesen veal scaloppini with marsala wine sama iced lemon tea, masing-masing buat dua orang.”
“Untuk satu orang aja! Saya pesen hot irish coffee!”, Satya tiba-tiba memotong.
“Lho kamu nggak mau pesen makanan?”
“Lagi nggak terlalu laper.”
“Ya udah deh, Mbak, jadinya veal scaloppini with marsala wine satu, hot irish coffee-nya satu, sama iced lemon tea-nya satu!”  
“Saya ulang yah pesenannya. Satu veal scaloppini with marsala wine, satu hot irish coffee dan satu iced lemon tea. Ada lagi yang mau dipesan?”
“Nggak, nanti aja. Terimakasih.”
“Baik, kalau begitu mohon ditunggu. Pesanannya nanti akan segera saya antarkan.”


Wanita itu mulai merasa janggal dengan sikap Satya. Ia merasa Satya benar-benar berbeda. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi sikap Satya yang jauh lebih diam dari biasanya itu. Bahkan tak tampak satu senyum pun diwajah Satya sedari tadi. Wajahnya benar-benar terlihat tegang. Kaku. Dingin.
Wanita itu menggeser kursinya tepat ke samping Satya. Ia arahkan letak duduknya menghadap pria yg dikasihinya itu. Mendekatkan wajahnya. Menaruh telapak tangan untuk mengalasi dagunya dipundak Satya. Ia pandangi lekat-lekat wajah orang yang dicintainya itu sejenak. “Are you okay, Dear?”, ucapnya sambil memeluk tangan Satya.
Satya tidak menjawab. Sorot matanya lurus ke depan. Hampir sepuluh menit ia seperti itu. Diam.
Sang wanita yang saat itu masih mempertanyakan sikap Satya dalam hati, akhirnya lebih memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu sekali Satya tidak akan memberi penjelasan apapun, tentang apapun, kecuali bila ia memang menginginkannya. Jadi yang bisa wanita itu lakukan hanyalah menunggunya berbicara dengan sendirinya.


“Kamu tahu? Apa itu cinta?”, tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibir Satya setelah lebih dari sepuluh menit ia terdiam.
Wanita itu pun terkejut. Tidak mengira kekasihnya akan melontarkan pertanyaan semacam itu. Ia coba jawab tanpa bertanya kenapa Satya tiba-tiba memberikan pertanyaan aneh itu padanya. “Umm…apa yah! Cinta….Cinta itu….Uumm…”, wanita itu masih berpikir mencari definisi cinta menurutnya. Ia bingung.
“Cinta itu bunga mawar!”, ucap Satya tiba-tiba memotong. Pandangan matanya masih lurus kedepan.
“Bunga mawar?? Kenapa? Kenapa mawar?”, wanita itu tidak mengerti bagaimana bisa Satya berpikir cinta itu sama dengan bunga mawar.
“Iya. Cinta itu ibarat bunga mawar. Kamu tahu bunga mawar? Apa menurutmu mawar itu cantik? Indah?”
“Iya. Bunga  mawar memang cantik. Indah. Karena itu pula aku menyukainya”, jawab sang wanita sambil membayangkan bunga mawar itu sendiri.
“Sama seperti cinta! Cantik! Indah!”
Satya terdiam sejenak.
“Kita mungkin akan terpesona! Dan itu seperti…perasaan bahagia dalam naungan hasrat yang tidak bisa dijabarkan. Dijelaskan. Dan apa kamu tahu? Pertanyaan mendasar tentang cinta itu sendiri?”
“Apa?”, wanita itu masih belum mengerti.


Setangkai mawar putih tampak menghiasi tiap meja disana. Tanpa terkecuali. Mata Satya tertuju pada salah satunya. Tak sekalipun dipandangnya wanita yang selama ini selalu mencintainya dengan tulus itu. Ia ambil mawar putih dihadapannya. 
“Kamu tahu? Mawar! Secantik-cantiknya bunga mawar, seindah-indahnya bunga mawar, tetap saja ia berduri.”, tanpa disangka-sangka, ia genggam erat tangkai mawar yang masih dipenuhi duri itu sambil melanjutkan ucapannya, “Dan duri itu mungkin akan melukaimu saat kamu memilih untuk menyentuhnya. Memetiknya untuk menjadikannya milikmu.”
Kelopak bunga mawar yang digenggamnya itu tidak lagi mutlak putih. Terpercik noda merah. Duri-duri itu terlalu tajam atau mungkin genggaman tangan Satya tadi yang terlalu erat, hingga duri itupun mampu menembus kulitnya. Melukainya.
Sang wanita yang melihat hal tersebut segera melepas pelukannya. Ia panik. Tanpa berpikir panjang ia raih bunga mawar itu dari genggaman tangan Satya. Dibuangnya ke lantai, kemudian membalut tangan orang yang dikasihinya itu dengan serbet putih yang ia ambil dari atas piringnya.
Satya menahan tangan wanita itu, sebelum lukanya selesai dibalut, seolah memberi isyarat agar wanita itu berhenti membalut tangannya. Wanita itu pun berhenti. Berhenti membalut tangan Satya. Dengan mata berkaca-kaca, ia pandangi Satya. Satya pun membalas tatapan itu dalam-dalam ke kedua mata wanita bergaun merah itu. “Kamu tahu, pertanyaan mendasar tentang cinta yang aku maksud tadi?”
Wanita itu diam. Matanya sedikit memerah dan semakin basah. Ia dapat merasakan bahwa sesuatu hal yang buruk akan terjadi.
“Pertanyaannya adalah….apakah kamu mau mengambil resiko untuk menyentuhnya? Memetiknya? Karena bila iya, mungkin yang akan kamu dapati adalah..luka”, lanjut Satya.
Mata wanita itu bukan hanya berkaca-kaca. Kantung matanya kini mulai dipenuhi air, hanya saja ia masih bersikeras untuk menahannya keluar.
“Aku mau kita put…”, belum sempat Satya melanjutkan ucapannya. Bibirnya sudah dibungkam saja dengan telunjuk wanita itu. Dalam pejam, air mata tak lagi mampu dibendung. Kantung mata wanita itu sudah terlalu penuh untuk menampungnya. Dan air mata itupun terjatuh.


“A…aku siap! Aku si…ap bila aku harus tertusuk…”, “..Duri”, ucap wanita itu sambil menunduk. “Aku rela bila untuk merasakannya aku harus terluka! Setidaknya aku masih jauh lebih beruntung karena aku pernah merasakannya. Pernah melewatinya. Aku bahkan masih bisa mengenangnya. Aku masih bisa bersyukur karena aku pernah memilikinya. Itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Wanita itu mengangkat wajahnya. Menarik napas panjang. Perlahan ia buka kedua matanya. Ia hapus air mata yang sempat terjatuh diwajahnya. Tersenyum. “Kamu mau bilang apa tadi?”, tanya wanita itu.
“Aku mencintai orang lain! Aku ingin kita putus!”, lanjut Satya tanpa berani melihat wajah wanita itu.


Wanita itu sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan Satya. Namun, sekalipun ia dapat menduganya, saat kata-kata itu sampai ditelinga, masih saja terasa sakit. Pria yang selama ini ia kasihi, ia cintai sepenuh hati. Pria yang selama ini selalu berada dipikirannya, hatinya, mimpi-mimpinya. Pria yang selama ini ia yakini bahwa pria tersebut akan menjadi cinta terakhirnya yang akan ia jaga hingga ia mati. Pria yang selama ini selalu ia bangga-banggakan, ia puja, ia sanjung. Pria yang selama ini selalu menghiasi hampir seluruh isi kamarnya dengan foto-foto mesra mereka yang terpajang disana, yang selalu ia pandangi hampir setiap saat kala ia menghabiskan waktu dikamarnya. Pria yang selama ini selalu ia rindukan, selalu ia nantikan kedatangannya. Dan kini saat pria itu kembali, ia harus,  melepasnya. Perasaan yang tak lagi dapat ia gambarkan. Yang ia tahu, kali itu duri telah menusuknya hingga menyisakan luka yang begitu dalam.
Ia tahan perih luka itu. Memendamnya dalam-dalam. Entah apa yang merasukinya kala itu. Air matanya tak lagi jatuh. Ia bahkan terlihat begitu tenang. Ia tersenyum, mengusap pipi Satya untuk terakhir kalinya, lalu berkata, “Aku melepaskanmu.”


Sesaat kemudian, pramusaji datang menghampiri meja mereka untuk mengantarkan pesanan. Pramusaji itu berdiri disisi meja. Hidangan lezat siap untuk disajikan. Namun sayang, waktu berjalan lebih cepat dimeja itu, hingga tanpa terasa acara makan malam sudah usai bahkan sebelum dimulai.


Menu dinner kali ini: ‘putus’.

*******

5 comments:

  1. Unggal atuh meni lami dangdos teh!

    mksud na mah Enggal kali yah?
    bru baca spotong uda komen hehhe

    ReplyDelete
  2. wah sedih bener menu dinner putus... :(

    tapi perempuannya keliatan berusaha tabah yak... :)

    ReplyDelete
  3. sedihhh .. terharu tapi keren lohh :)

    ReplyDelete
  4. kerennnn .. sedih , ngena banget dihati :)

    ReplyDelete
  5. Sakit bukan ketika dy yang kau damba mengatakan "Aku Mencintai Wanita Lain." .. aku rasa tidak perlu lagi dijelaskan mengenai perasaan ini, karena kamu pun telah merasakannya...tapi mengapa kamu tega menjadi wanita lain itu untuk menyakiti wanita??

    ReplyDelete