ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.5 (part.4)

Kertas Lecek Rara - Chapter V (final part)
‘Too Late To Sing Our Old Song Again’



‘Drrreettttt…..Drrreeetttt……’. Seketika itupula Rara menarik tangannya dari genggaman Arga. Memalingkan tubuhnya. “Haloo…iya, acaranya udah selesai kok! Mau jemput sekarang? Oh, ya udah, nanti kalo udah deket telepon aja yah, nanti aku keluar! Yup…Bye”.
“Loe udah mau dijemput yah?”, tanya Arga selepas Rara menjawab telepon.
“Iya”
So, would you be mine?”, Arga melebarkan senyumnya, penuh harap.
Rara menghela napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab.
“So gimana?”, Arga masih menunggu jawaban.
Oh..well…to be honest…..”. Rara terdiam sejenak. Memutar bola matanya keatas kiri dan kanan. Lagi-lagi ia menghela napas. “Huufff…well, jujur gue suka sama loe, suka banget malah! Dan…gue seneng banget waktu tau ternyata loe juga suka sama gue, gue tersanjung ternyata perasaan suka loe ke gue masih loe jaga sampai sekarang. Itu sebuah kehormatan bagi gue.”
Pernyataan itu berhasil melunturkan tegang diwajah Arga. Terlihat dari bagaimana cara ia mengembangkan senyum diwajahnya. “Jadi?? Kita???”, Arga meminta kepastian. Senyumnya terlihat lebih lebar.
Tengorokan Rara terasa tercekat. Lidahnya terasa kelu. Ia mengembungkan pipinya. Menahan napas sejenak sambil memejamkan mata, kemudian menghembuskannya panjang-panjang seraya membuka kelopak matanya kembali. “Kita?? Hmn…well, andai aja loe ngasih pertanyaan itu jauh sebelum hari ini, mungkin...”. 
“Mungkin??”, raut wajah Arga kembali mengerut.
“Iya. Gue emang suka sama loe, tapi itu dulu, Ga! Sekarang udah nggak ada lagi kata ‘kita’ untuk gue dan loe! Udah terlambat, Ga! Andai aja loe bilang perasaan loe ke gue saat itu, Ga! Tapi, sayangnya loe nggak…”. ‘Dreeetttt….. dreeeettttt…..’. “Maafin gue yah, Ga, gue nggak bisa. Sekarang gue udah sama yang lain Ga, dan sekarang gue harus pergi, dia udah nunggu gue diparkiran. Sekali lagi, maafin gue…andai aja Ga..”. Rara mengusap pipi Arga, lembut, menatap mata pria itu lekat-lekat, “Andai…”.


      Ruangan itu terasa begitu dingin selepas deklarasi penolakan wanita yang dicintainya selama bertahun-tahun. Bukan tentang udara yang memadati ruangnya, tapi suasana yang ditinggalkan wanita itu menjadi begitu dingin. Hampa. Sama seperti rasa yang hinggap dihati Arga.
Ia menyesali kebodohan masa lalu yang kini tengah menjadi boomerang, melucuti jiwa pengecutnya habis-habisan. Andai saja ia mempunyai cukup keberanian untuk menyatakan perasaannya kala itu, mungkin ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama orang yang ia cintai hingga bertahun-tahun. Andai saja ia menyatakannya lebih awal, mungkin ia akan merajut tahun-tahun lalu dengan drama romantis dimana ia dan wanita yang dicintainya itu menjadi peran utama didalamnya, dan bukan malah melewatinya dengan kesendirian bersama terpaan rindu yang menghujam perih.
Jika ia bisa mengingat bahwa ada pepatah yang mengatakan ‘selalu ada kesempatan kedua’, seharusnya ia juga tidak lupa, kalau ada pepatah lain yang juga mengatakan, ‘kesempatan hanya datang satu kali’. Andai saja ia melakukannya dengan benar, dengan sebaik-baiknya, satu kali saja, sudah cukup. Andai saja.


Arga memandangi kata-kata yang pernah ia tulis dimeja Rara itu untuk terakhir kalinya. Menjama tiap hurufnya dengan jari jemari, hingga kata-kata itu dibuat seolah menggema dalam pikirannya. ‘You don’t need the light to find love. All you need is intuition. Because, love can found you even in the dark. It was the one that illuminated’. Setetes air jatuh dari matanya, tapi ia tepis. Ia memilih meninggalkan ruangan itu sebelum perasaannya kian tercabik.
Pada akhirnya, untuk menemukan cinta, tidak perlu cahaya, tapi intuisi. Mungkin bukan karena Arga yang tidak pernah mengatakannya, tapi, andai saja, kala itu Rara mau pergunakan intusinya, maka cintalah yang akan menemukannya dalam gelap.
Arga membawa serta terang pada ruangan itu, menjadikannya temaran saat ia matikan lampu neon dan beranjak pergi. Ruangan itu kembali terkunci, dengan gelap didalamnya. Diam-diam barisan kata menyembul diatas kalimat yang Arga tulis dimeja wanita yang dicintainya itu. Sebuah pesan singkat yang pernah Arga tulis bertahun-tahun lalu. Rangkaian kata yang tak pernah mampu ia ucapkan secara lisan. Kata yang sangat ingin sekali ia tunjukan dimasanya, saat acara buka puasa bersama beberapa tahun silam. Kata yang kini menjadi terlalu usang untuk diucapkan.
Cairan fosfor yang Arga gunakan untuk menulis kalimat itu membuat huruf-huruf didalamnya berpendar dalam gelap. ‘Jika hari esok tak pernah datang, aku hanya ingin kamu tahu, dalam diamku aku selalu mencintaimu. Maka, jika hari esok benar-benar takkan datang, aku takkan menyesal. Karena aku telah mengatakannya, aku mencintaimu. Arga.’
     
     
      Kamu hanya butuh intuisi. Karena, cinta itulah yang sebenarnya ‘menerangi’.
­­­
*******

No comments:

Post a Comment