ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch,6 (Langit, part.2)

Kertas Lecek Rara - Chapter VI (part two)
‘Langit’


Lari. Itulah yang Rara lakukan selama 30 menit tanpa henti, menuruni ratusan anak tangga menuju loby agar dapat keluar dari gedung. Peluh membanjiri seluruh tubuh, membuat derai air mata terlihat samar dengan butiran keringat. Ia kembali membungkukan tubuhnya seraya menstabilkan napas saat langkahnya berhenti disebuah taman tak jauh dari gedung. Ia jatuhkan tubuhnya ke tanah, kemudian meluruskan kaki sambil memijat-mijatinya. Napasnya masih terasa sesak dengan panas yang bergejolak dalam hatinya.
Beberapa orang yang lalu lalang menjatuhkan kepingan koin lima ratusan dan lembaran seribuan dihadapannya dengan tatapan iba, sementara ia hanya bisa pasrah dengan plester imajiner dibibir. Ia sudah tidak punya cukup tenaga dan hasrat untuk memproklamirkan indentitasnya yang bukan pengemis itu.
“Ice cream, want some?”. Ucapan itu membuat Rara mengangkat wajahnya yang sejak tadi dibiarkan tertunduk diatas lutut yang ia tekuk. Ia menarik-narik cairan lendir yang hampir keluar dengan hirupan udara, agar terdorong dan tetap berada didalam hidungnya. Ia memperhatikan wajah orang asing itu. Samar. Cahaya matahari menyilaukan matanya, membuatnya kesulitan untuk mengenali sosok pria yang berdiri dihadapannya itu.
And now, I guess you’ll need this too!”. Kali ini ia menjongkokan kakinya. Mengeluarkan sebuah sapu tangan dari tas pinggangnya, kemudian menyodorkannya pada Rara. Kali ini Rara bisa melihat raut wajahnya dengan amat sangat jelas.
“Elo!! Elo kan….”, Rara tampak terkejut.
“Apus dulu air mata loe, nggak enak diliatin banyak orang!”. Tanpa sadar Rara membiarkan pria itu menghapus air matanya yang berderai.
“Loe kan mas-mas yang waktu itu di bus way kan?? Mas-mas yang sama yang juga gue temuin di rumah yang waktu itu gue selonong masuk kan??”.
Well, I guess! Tadi gue nggak sengaja ngeliat loe! And I thought you needed some help or something so…I stopped by”. Pria itu memendarkan senyumnya. Membuatnya terlihat semakin charming. “By the way, kayaknya ada baiknya kalau kita pindah! Loe nggak mau kan dihujanin duit koinan gara-gara disangka pengemis??”.
Rara hanya mampu mengangguk. Wajahnya masih memelas.
So, I think it’s better if we go now! Motor gue, gue parkir gak jauh dari sini! Jadi loe masih sempet ngehabisin es krimnya sebelum sampai sana! By the way sepatu loe mana?? Atau emang dari tadi loe nyeker??”
Rara baru sadar high heels-nya tertinggal di apartemen Satya. Ia terlalu panik hingga lupa telah menghabiskan puluhan kilometer dengan bertelanjang kaki.
“Ya udahlah, lupain ajah! Didepan sana kalo nggak salah ada warung, nanti kita beli sandal jepit aja untuk sementara!”


“Ayo naik! Tenang, gue nggak akan nyulik loe kok! Loe percaya kan sama gue?”. Senyuman pria itu lagi-lagi membuat Rara bergetar. Senyum itu terasa familiar, seolah menggali ingatannya kembali tentang sesosok lampau yang ia lupakan.
Tanpa banyak bicara Rara akhirnya memilih untuk menaiki Honda Fireblade 999cc itu, meski sedikit ragu.
“Siap?”
“Hmn”, gumamnya mengiyakan.
“Yakin nggak mau pegangan? Gue saranin sih pegangan”.
Rara kemudian memegangi sweater pria itu.
“Yakin cuma mau megangin sweater gue aja?”, pria itu tampak berharap Rara akan merapatkan tubuh dan melingkarkan tangan ke tubuhnya.
“Iya, gue pegangan sweater loe ajah”.
“Yaahhhh.....”, pikir pria itu, begitu tahu Rara memilih untuk tidak memeluknya. Ia lantas memutar keras otaknya dalam batasan waktu kurang dari satu menit. “Ya nggak apa-apa sih, tapi gue nggak nanggung yah, kalo loe kenapa-kenapa!”, pria itu berucap bak pemenang. ‘Brrmmmnn…brrrmmnn’, ia menggas kuda besi itu kencang, membuat Rara secara reflek melepaskan genggamannya dari sweater. Pria itupun mengibarkan senyum kemenangannya saat sepasang tangan memeluknya dari belakang.
     
     
      Perasaan apa ini Yaa Allah? Kenapa hatiku terasa bergetar? Aku baru mengenal pria ini, aku bahkan tidak tahu siapa dia, asalnya dari mana, namanya siapa, aku bahkan tidak tahu apa dia pria baik-baik atau bukan, tapi kenapa aku merasa aku bisa mempercayainya begitu saja. Aku merasa aman. Damai saat memeluk tubuhnya. Perasaan apa??, Rara tidak menyangka pelukannya pada pria asing itu mampu mengaduk-aduk perasaannya. Diam-diam perasaan damai seolah merasuki hatinya, sejenak alihkan getir yang membuatnya melarikan diri dari apartement Satya pagi ini. Ia menutup matanya kemudian, membiarkan perasaannya hanyut.
            “Udah sampai!”. Pria itu melepas helmnya, menoleh ke arah wanita asing yang ditemuinya ditaman tadi. Ia tersenyum kecil melihat tangan wanita itu masih melingkar ditubuhnya. Ia juga tidak habis pikir, bagaimana wanita itu bisa sampai tertidur dan tidak terjatuh dari motor yang melaju dengan kecepatan tinggi itu. “Udah sampai!!”, ucap pria itu lagi, kali ini sedikit lantang.
            “Eh, udah sampai?”, Rara perlahan membuka matanya. “Yaa Tuhan!! Gue ketiduran yah?”, “Maaf…maaf!”
“Iya dimaafin! Tapi mau sampai kapan loe meluk gue?? Gue susah napas nih!”, pria itu memincingkan pandangannya ke arah tangan yang sejak tadi merekat ditubuhnya. Wanita itupun menelusuri arah pandangan mata itu, kemudian tersipu malu menyadari kedua tangannya yang masih setia memeluk pria itu.
“Maaf…”, ia tersenyum seraya melepaskan pelukannya.
     
     
      Samar-samar aroma pinus menyeruak diantara kabut tipis yang menyelimuti pepohonan yang menjulang tinggi. Pemandangan hijau yang tak lagi dapat ditemui dijantung kota, kini terhampar dihadapannya. Rara menggesek-gesekan kedua tangannya untuk mengurangi hawa dingin yang menempeli kulitnya.
            “Nih pake!”, ucap pria disampingnya. Pria itu sengaja melepas sweater miliknya, kemudian menyodorkannya pada Rara saat melihat wanita itu mulai mengigil.
            “Loh, ini kan sweater loe? Nanti kalo gue pake, loe pake apa?”.
            “Udah pake aja!”
            Rara memandang penuh haru pria itu sambil mengembangkan senyum termanis miliknya. Sang pria yang menyadari hal tersebut, dibuat merah mukanya. Pria itupun berkata, ”Ngapain loe ngeliatin gue kayak gitu! Gue cuma kegerahan, bukan sengaja minjemin ke loe! Jadi loe nggak usah ge-er deh! Ya udah nih pake, sebelum gue berubah pikiran!”
Rara raih sweater tersebut. Ia baru sadar pria itu mengenakan parfum saat sweater abu-abu bercapucon itu melekat ditubuhnya. Mungkin selama dimotor tadi, hidungnya terlalu mampat sehingga kurang peka dengan aroma dark chocolate yang menggemaskan itu. Sejenak ia merasa perlakuan pria itu begitu manis. Ia tahu pria itu sama sekali tidak kegerahan. Hal itu terlihat dari bagaimana cara pria itu memasukan tangannya dalam-dalam ke saku jeans sambil menjinjit-jinjitkan kaki dan melemparkan udara dingin ke udara. Rara bisa melihat asap dingin menyembul dari mulutnya. Pria itu lebih memilih kemungkinan mati membeku dengan meminjamkan sweater yang bisa membuatnya tetap hangat pada wanita asing yang baru dikenalnya, yang bahkan namanyapun ia tidak tahu. Konyol. Tapi, manis.

     
      If I kiss you where it's sore. If I kiss you where it's sore. Will you feel better, better, better. Will you feel anything at all…”.
            Handphone loe bunyi tuh!”
            Rara menatap nama dilayar handphone-nya. Ia lantas menekan tombol power, membuat Regina Spektor berhenti menyanyikan ringtone ‘better’, kesukaannya itu begitu melihat nama ‘Satya’ yang terpampang dilayar. Kali ini ia sungguh kecewa pada Satya. Mengingat Satya, membuatnya kembali mengingat apa yang dilihatnya dikamar apartemen Satya pagi ini. Membuatnya kembali merasa sesak, membuatnya kembali, menangis. 
            “Kenapa nggak diangkat?”. “Loe nangis??”
            “Gue pengen dipeluk!”
            Pria itu tampak sedikit terkejut mendengar permintaan Rara yang tiba-tiba itu.
            “Gue pengen dipeluk!”, ucapnya lagi, masih membelakangi pria itu.
            Pria itu kemudian mengambil satu langkah ke depan, melapangkan lengannya. Namun belum juga ia sempat selimuti Rara dengan bentangan tangan, wanita itu sudah lebih dulu membalikan dan menabrakan tubuhnya ke dada pria itu sambil mengalungkan kedua tangan ke leher sang pria. Perlakuan Rara yang diluar dugaan itu membuat jantung pria itu berdebar-debar. Debaran yang lain dari biasanya. Debaran yang menelusup perasaannya. Perasaan asing yang tercipta begitu saja. Perasaan yang membuatnya tiba-tiba ingin selalu bersama wanita yang kini dalam pelukannya itu. Meski canggung, ia akhirnya memutuskan untuk mendaratkan tangannya ke punggung wanita itu, sementara satu tangannya lagi mencoba menenangkan wanita itu dengan belaian lembut di rambut.
     

Pria itu masih bisa melihat kepala wanita dalam peluknya itu menunduk. Suara tangisnya masih belum juga reda. “Tuhan, perasaan apa ini? Aku tak tahu apa nama perasaan ini. Aku belum pernah merasakan jantungku berdebar seperti dialiri sengatan listrik seperti ini sebelumnya. Rasanya sedikit sesak, tapi entah kenapa aku tak ingin rasa sesak ini lekas beranjak pergi? Jika bisa, aku akan menawan rasa sesak ini selama mungkin agar bulir-bulir kebahagiaan dalam hatiku tidak cepat pudar. Andai saja wanita yang ada dalam pelukanku ini belum ada yang memiliki, aku berjanji akan menjadi penjaga hatinya, Tuhan!”, pria itu berkata dalam hati.
            “Gue sayang sama cowok gue! Gue sayang sama dia! Sayang!”, Rara tiba-tiba buka suara. Ia tidak sadar pernyataan sayangnya itu telah menghanguskan harapan dan cinta yang baru saja tumbuh pada hati pria yang sudah terlanjur mengikrarkan janji untuk menjadi penjaga hatinya. Pria yang rela membeku kedingingan untuknya. Pria yang telah meneduhkan hatinya dalam peluk.
            Dalam sekejap, hati rasanya menjadi berkeping-keping. “Sayang sama cowo gue?? Jadi dia udah punya cowo! Dan dari cara dia bilang sayang, kayaknya dia emang beneran sayang deh sama cowoknya itu! Udah nggak ada harapan lagi buat gue! The end! Kenapa rasanya sakit banget yah denger dia bilang kayak gitu! Andai aja gue masih dikasih kesempatan…”, pikir pria itu dengan wajah ditekuk.
            
(to be continue - read: Ch.6, part.3)

No comments:

Post a Comment