ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.5 ( part.2)

Kertas Lecek Rara - Chapter V (part two)
‘Too Late To Sing Our Old Song Again’


Yaa Allah!! Arga, Yaa Allah!! Arga!! Dia ada dihadapanku saat ini!, hati Rara bergejolak. “E…ba..ik”, jawabnya terbata.
“Kenapa loe jadi gagu gini? Bertahun-tahun nggak ketemu sekalinya ketemu, gagu! Hahhaa”.
“Heh! Songong! Nah, loe apa kabar?? Muka loe nggak berubah yah dari dulu!”
“Tetep ganteng kan?”
“Hahhaa…kalo loe ganteng, harusnya yang dapet predikat cowok terganteng dikelas kita pas pemilihan angket waktu itu bukan Tara, tapi loe! Faktanya jelas gitu! Hahahaa”.
“Cie..tau deh, yang mantan pacar! Dibelain mulu…”.
“Iyalah! Lagian sih loe nggak mau jadi pacar gue! Kalo loe dulu mau jadi pacar gue, pasti gue belain! Hahahaa…”
“Gue mau kok!”
Tanggapan Arga yang tiba-tiba itu membuatnya mendadak mengentikan tawanya.
“Yee…becanda kali gue! Nggak usah langsung mendadak kikuk gitu dong! Hahaha”


Sialan gue permaluin!! Jadi kebaca kan gue!! Arrrgghh….kena jebakan!! Next time musti hati-hati nih gue! Huh…
“Ye…siapa juga yang kikuk! Loe tuh! Sok tau!”
“Hahahaa….”


“Eh, ini foto yang waktu pas acara 17 Agustus-an kan? Waktu itu gue inget banget, loe kebagian jadi petugas upacara, bagian bacain janji siswa!”, ceplos Arga saat melihat foto yang dipandangi Rara sejak tadi.
Ah….iya! Gue baru inget! Dan gue inget banget betapa memalukannya gue saat itu! Hari itu kali pertama gue ditugasin jadi pembaca janji siswa dan saking nervous-nya karena ditonton banyak orang gue sampai-sampai salah ngomong waktu bacain naskahnya dan bahkan gue masih sempet bilang, ’ups…salah’! Pembacaan naskah yang harusnya sakral, berjalan dengan tertib dan hening, sukses gue rusak dalam hitungan detik! Gue yang saat itu berdiri dipodium dibawah kibaran bendera sang saka, mukanya dibuat sama merah kayak bendera karena harus nelan tertawaan ratusan murid yang ada disana. Sumpah gue MALU BANGET! Saat itu gue nervous banget!
Sebenernya alesan utama gue nervous bukan karena orang-orang itu sih, tapi karena gue sadar pandangan mata Arga nggak lepas dari gue, itu yang bikin gue jadi nggak fokus. Bikin mulut sama otak gue jadi nggak sinkron! Thanks Arga, loe udah ingetin gue tentang insiden memalukan itu dan thanks juga berkat loe, sejak kejadian itu gue mendadak famous-dalam arti kata memalukan, kenangan masa lalu Rara kembali lagi.


“Hahahaa…iya gue inget banget waktu itu loe salah ngomong, terus diketawain anak-anak satu sekolahan! Hahaha…”, lanjut Arga.
Hah! Masih inget ajah lagi!! Makin malu aja kan gue jadinya!! Nggak sadar apa gue bisa salah kayak gituh gara-gara siapa!!!
Eh…tapi..kalau foto itu diambil pas acara tujuh belasan, berarti….foto itu diambil waktu gue masih kelas satu dong! Terus cowo itu siapa yah??
      “Hey…!! Yah..dia bengong!!”
Rara hanya senyum.
“Daripada bengong, mending kita masuk aja yuk ke dalem!”
“Lho! Ini bukannya udah didalem??”
“Loe lupa, kalo sekolah kita itu luas! Yah, next room-lah!! Yuk!”


‘Dreeettt….dreeeetttt….’, handphone Rara bergetar. “Bentar-bentar! Ada sms!”, kata Rara sambil membaca pesannya. Pesan dari Satya. Dalam pesannya, Satya memohon maaf  karena harus meninggalkannya untuk urusan mendadak. Tapi, Satya janji akan kembali lagi untuk menjemput. Ia hanya tinggal memberitahunya kapan ingin dijemput dan ia akan segera datang.
“Dari siapa?”
“Mamah”. Ups…kenapa gue tiba-tiba bohong?
“Oh…”
“Yuk!”, ajak Arga. Ia menggandeng tangan Rara, kemudian menyibak tirai dihadapannya. Tirai yang menghubungkan galeri dengan ruang utama.


‘Waaww…’, kata itu muncul untuk yang kedua kalinya dalam pikiran Rara, tepat saat ia melihat pemandangan dibalik tirai. Berbeda sekali dengan suasana digaleri yang serba hitam putih, disini para tamu disuguhkan dengan pemandangan tanpa dinding, tanpa atap.
Kali ini para tamu sengaja dibuat agar lebih menyatu dengan alam, karena memang konsep ruang utamanya outdoor. Lampu-lampu kelas dan koridor sengaja dimatikan, cahayanya digantikan oleh puluhan lampion dan  ratusan lampu kecil yang menggelayuti pohon-pohon disekeliling ruang utama. Kali ini langit cukup cerah. Bulan terlihat lebih besar dan lebih bulat dari biasanya, sesuai dengan perkiraan yang diberitakan di televisi kalau hari ini akan terang bulan. Bintang juga tampak lebih banyak dari biasanya. Berdiri disini rasanya seperti sedang disirami ribuan cahaya.
Acaranya bertambah meriah dengan panggung hiburan dimana beberapa orang musikus sengaja dihadirkan khusus untuk memainkan lagu-lagu hitz pada zaman Rara SMP dulu, selama sepanjang malam. Diatas sisi kanan dan kiri panggung didirikan layar putih yang mempertontonkan parodi kumpulan foto kenangan yang sengaja dibubuhkan dialog berupa tulisan sebagai hiburan tambahan.


“Gimana? Loe suka sama dekornya?”
“Iya…dekornya bagus banget!”, Rara masih menjama seluruh sudut dengan matanya. “Jadi elo yang ngedekor semua ini??”
“Ya enggaklah!”
“Hahhaaa…cara  loe nanya udah kayak elo aja gitu yang ngedekor!”
“Hahhaaa…gue cuma ngedesain dekorannya aja, kalo soal proses dekornya yah rame-rame! Masa iya gue ngerjain semuanya sendiri dalam waktu satu malam! Hahahhaa…”
“Waawww…dua jempol deh kalo gitu buat loe!!!”
“Makasih. Hehe…”
“Eh, udah jam sembilan! You better watch this!, ucap Arga tiba-tiba.

“Perhatian-perhatian, kepada seluruh tamu harap berkumpul diruang utama untuk mengikuti puncak acara. Saya ulangi, kepada seluruh tamu harap berkumpul diruang utama untuk mengikuti puncak acara. Terimakasih.”
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, ruang utama sudah dijejali para tamu undangan. Mereka menunggu tanpa tahu apa sebenarnya puncak acara yang dimaksud. Mereka sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
‘Tdepppp’…Seluruh lampu mati seketika. Para musikus menghentikan aksinya, satu persatu turun dari panggung. Beberapa tamu dibuat panik karenanya. Seketika sebuah kain raksasa putih diturunkan dari atap panggung. Bentangannya menutupi areal depan podium.  Panitia yang sadar dengan kepanikan para tamu, mulai bersuara untuk meredam kepanikan yang ada.
“Kepada para tamu undangan diharapkan jangan ada yang panik, karena ini adalah bagian dari acara. Saya ulangi, kepada para tamu undangan diharapkan jangan ada yang panik, karena ini adalah bagian dari acara. Acara akan dimulai, diharapkan untuk para tamu undangan agar menon-aktifkan atau men-silent­­ ponsel masing-masing demi kelancaran acara. Terimakasih.”
“Ada apaan sih nih?”, bisik Rara.
“Udah…ikutin aja, nanti juga tau! Hehe”.
Samar-samar jutaan tone warna jatuh diatas bentangan kain putih itu. Proyektor yang sengaja diarahkan pada kain putih itulah yang membuat warna-warna itu menari-nari diatasnya. Potongan-potongan cerita dari berbagai video yang pernah terekam dimasanya, dipadu-padankan hingga selaras dalam satu kesatuan tema, terangkum dalam sebuah film dokumenter. Film dokumenter itulah yang akan disuguhkan kepada para tamu melalui kain raksasa tadi. Ratusan mata tamu dibuat hampir tak berkedip. Mereka takut melewatkan sesi dimana ada mereka didalamnya. Semuanya tampak menikmati suguhan audio-visual itu, tanpa terkecuali Rara.


“Pertunjukan yang bagus!”, puji Rara saat tulisan ‘the end’ muncul, diikuti sorak-sorai para tamu yang menghujani panitia dengan sanjungan atas apa yang baru saja mereka saksikan tadi. Tampaknya mereka sangat puas dengan hasil kerja panitia penyelenggara.
“Eh…ini kan salah satu lagu favorit gue! Waktu jaman kita SMP nge-hits banget kan!!”, ucap Rara kala musikus-musikus bayaran itu kembali membawakan lagu selepas kain raksasa putih tadi ditarik keatas. Kali ini mereka membawakan lagu dari Daniel Bedingfield yang berjudul ‘if you’re not the one’. “Hmm…jadi inget waktu itu, tiba-tiba gue nemuin cd-nya di tas gue! Tapi sampai sekarang gue nggak pernah tau siapa yang naro tuh cd ke dalem tas gue! Tau aja gue emang lagi pengen banget tuh cd! Emang kalo rejeki nggak kemana! Hahhaa…”, Rara berbicara sendiri tanpa sadar.
Wait..wait!! Cd? Tas gue?? Oh…my God!! Gue baru ‘ngeh! Jangan-jangan cd yang waktu itu gue terima ada hubungannya lagi sama foto di galeri tadi!! Jangan-jangan cowo didalem foto itu yang masukin cd ke tas gue!! Dan jangan-jangan gue beneran kenal lagi siapa orangnya!! Oh, my God!! Tapi, siapa???, pikir Rara tiba-tiba sadar akan adanya sebuah kejanggalan.


“Emang sampai sekarang loe masih belom tau siapa yang ngasih tuh cd?”, Arga tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“He…?? Apa? Tadi loe bilang apa?”
“Iya, tadi gue nanya emang loe masih belom tau siapa yang ngasih?”
“Enggak! Yang gue tau, inisialnya ‘A’! Soalnya di bungkusnya cuma ada tulisan itu doang! Kira-kira siapa yah?? Hmm…”. “Andi!!! Duh, kenapa gue nggak kepikiran dia yah waktu itu! Yah, bener! Pasti Andi!! Gue yakin banget pasti dia! Siapa lagi coba kalau bukan dia! Kan cuma dia yang waktu itu naksir gue!!” 
“Yang suka sama loe banyak kali waktu itu, bukan cuma dia doang!”
“Iya sih…tapi kan yang inisial namanya ‘A’ cuma dia doang! Siapa lagi coba selain dia yang inisialnya juga ‘A’, yang naksir sama gue saat itu??”
“….gue??”.
Kepala Rara dibuat menoleh seketika. Ia pandangi Arga, sementara Arga sendiri lebih memilih untuk membuang pandangannya ke langit. “Maksud loe?”
“Cd itu dari gue!”
 Oh…my God!! Jadi cowo yang di foto itu beneran dia!! Kali ini gue nggak tau harus seneng gara-gara ternyata itu pemberian dari orang yang pernah gue suka atau sedih karena bodohnya gue nggak pernah nyari tau tentang itu dari dulu dulu!


“Gue mau nunjukin loe sesuatu! Ikut gue yuk…”, ucapnya seraya meraih tangan Rara. “Genggam tangan gue erat-erat! Jangan sampai lepas! Gue cuma bawa satu senter soalnya!”. Arga membawa Rara menjauh dari suasana hiruk pikuk pesta reuni, berjalan menyusuri koridor kelas yang sangat gelap. Mereka hanya bermodalkan sebuah senter untuk menerangi arah langkah kaki agar tidak jatuh. Rara yang memang takut gelap segera mengencangkan  genggaman dan merapatkan tubuhnya pada Arga. 

 (to be continue - read: Ch.V,part 3)


No comments:

Post a Comment