ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.4 (Kesempatan kedua, part.4)

Kertas lecek Rara - Chapter IV (part four)

‘Kesempatan Kedua’

 

…..Haaaattchiiii…
…hattchii..
Hatchhhhhhhhiiiiiiiiiiiii….

Hatchiiii…
Hatchiiiiiiiiiiiiiiiii….

Rara bersin. Ternyata, saat detik-detik terakhir tadi Rara membuka bibir, bukan karena ia sedang ancang-ancang melakukan French kiss, tapi karena ia ingin bersin. Begitulah. Moment romantis itu hilang dalam hitungan detik tepat saat Rara bersin diwajah Arga. Untungnya ia sempat menutup mulutnya, jadi air liurnya tidak sampai mengenai wajah Arga.
“Hahhahahaaaa….”, Arga tertawa geli melihat cara Rara bersin. “Kok bersin loe kayak kucing sih!! Hahhahaaa…Udah gitu, bersin bisa sampai lima kali gitu!! Sumpah!! Unik banget sih loe jadi cewe!! Hahahaaa”. “Bersin tuh yang lepas gituh!! Yang kenceng sekalian, biar lega!! Nah ini bersin udah kayak kucing!! Hatchii…hatchii…pelan gituh!! Bersin apaan tuh!! Hahahaaa”. “Sumpah luc….”, Rara membungkam mulut Arga dengan tangannya, sebelum Arga sempat melanjutkan ucapannya itu.
“Ga, sebenernya loe pernah suka nggak sih sama gue? Sayang sama gue?”, akhirnya pertanyaan yang selama ini bersarang dan terpendam itu keluar juga.
“…Luc…cu…”, Arga reflek melanjutkan ucapannya yang terpotong tadi. Ia dibuat kikuk seketika. Ia tidak menyangka Rara akan bertanya seperti itu.
Mereka kemudian sama-sama terdiam.


“Tapi, Andi sahabat gue!”
“Bukan itu pertanyaan gue! Gue cuma mau tau perasaan loe ke gue, gimana!! Loe bahkan tau, kalo gue sama sekali nggak pernah ada perasaan apa-apa sama Andi!!”.
“Iya gue tau…”.
“Terus kenapa loe selalu maksain gue supaya gue suka sama dia! Supaya gue nerima cintanya!!”
“Karena dia sahabat gue! Please, ngertiin gue!’.
“Ngertiin loe? Apa loe pernah ngertiin gue?”, mata Rara sudah berkaca-kaca. “Bukan dia yang gue suka, tapi loe!! Dan loe nggak pernah ngasih gue kesempatan untuk nunjukin semua itu!! Loe selalu nyambung-nyambungin gue sama sahabat loe itu!! Apa loe pernah mikirin perasaan gue?? Nggak pernah, Ga!! Nggak pernah!!”, kali ini air membanjiri matanya. Semua emosi yang tersimpan bertahun-tahun itu akhirnya meledak.
“Sorry....gue nggak tau! Gue nggak tau kalo loe suka sama gue”, Arga tampak panik melihat luapan emosi yang dikeluarkan Rara.
“Yeah…suka sama orang yang sama sekali nggak pernah punya perasaan apa-apa sama gue!! Iya, kan??”, Rara mulai terisak-isak.
“Sebenernya, perasaan gue ke loe dari dulu nggak pernah berubah!”, ucap Arga sambil mengangkat wajah Rara. Menghapus air mata yang membasahi wajah wanita berambut panjang itu dengan jari jemarinya. Kemudian menatap tajam mata wanita itu. “Sebenernya, entah loe sadar atau enggak, gue udah sering nunjukin semua itu. Nunjukin kalo gue..…….”.


“Oy…….banguuuun!!”. “Banguuuun….!! Oy…oy….!!”, Mas Bayu tiba-tiba membangunkannya.
Bayang wajah Arga menghilang. Pemandangan rerumputan dan taman menghilang. Pakaian yang dikenakannya pun bukan lagi seragam SMP, melainkan pakaian khusus pasien rawat inap. Ia masih dirumah sakit. Ja…jadiiiii, semua itu hanya mimpiiiiiiiiiiiii…!!! Bapak, Arga, jadi semua itu benar-benar hanya mimpi!!! Arrrrrrrrrgggggghhhhh…. tiddDDAAAKKK!!!!, ia berteriak dalam hati.
Rara menyesali semua itu hanya mimpi. Ia begitu merindukan sosok Bapak. Ia tidak ingin Bapak pergi, ia ingin Bapak disini bersamanya, dan ia ingin beban perasaan yang ia pendam bertahun-tahun pada Arga lekas pergi, meskipun ia sendiri tidak tahu apakah perasaannya terhadap Arga itu masih sama seperti dulu atau tidak. Ia mengambil napas panjang. Tubuhnya sedikit berkeringat.
“Mas tinggal dulu yah! Mau ngurusin administrasinya dulu, takut ada yang kurang! Cuma sebentar kok! Hehe…”.
Rara mengangguk. Ia masih terlalu shock akibat mimpi dan kebahagiaannya yang baru saja lenyap itu. Ia melamun. Entah apa. Pandangan matanya lurus ke depan. Kosong.


Dua orang perawat yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghampirinya. Mereka membawa peralatan suntik dan kantung infuse baru yang masih tersegel. Satu hal yang perlu diketahui tentang Rara, ia sangat takut terhadap jarum suntik. Dulu saat ia masih di sekolah dasar, hampir tiap tahun sekolahnya itu mengadakan suntik masal dan kalau pun ada anak murid yang paling histeris saat disuntik, itu sudah pasti Rara.
Saat itu butuh empat sampai lima orang untuk memeganginya agar ia mau disuntik. Ironisnya, orang-orang yang memeganginya itu terkadang mau tidak mau harus terluka karenanya, entah itu karena cakarannya, gigitannya, cubitannya, pukulannya, tendangannya, dan lain sebagainya. Ia selalu berontak setiap kali ingin disuntik. Kalau ada pepatah yang mengatakan, jangan membangunkan macan tidur, mungkin itu memang benar-benar berlaku untuknya, terlebih lagi saat ia berhadapan dengan jarum suntik.
Pemberontakan itu berlangsung hingga ia SMP. Bukan karena rasa takutnya terhadap jarum suntik sudah hilang sepenuhnya saat ia mulai mengenakan seragam putih biru itu, tapi ia sadar, pemberontakan itu sungguh memalukan dengan umurnya yang beranjak dewasa. Kalau dulu, dibutuhkan empat hingga lima orang untuk menjinakannya, sekarang ia hanya butuh satu orang saja untuk menemaninya setiap kali ia disuntik dan malangnya, orang itu harus siap menahan sakit, bahkan mungkin rasanya bisa tiga kali lipat dari rasa sakit karena disuntik. Bagaimana tidak, untuk mengalihkan rasa takutnya itu, Rara akan memukul-mukul, mencubit sekeras mungkin, atau bahkan menggigit tangan orang tersebut dan orang tersebut harus pasrah saat Rara menjadikannya tumbal rasa takutnya terhadap jarum suntik. Mas Bayu adalah salah satunya yang paling sering dijadikan tumbal untuk itu.
Jadi kesimpulannya, jika jarum suntik saja sudah bisa membuatnya takut, apalagi jarum infuse yang jelas-jelas ukurannya lebih besar.


“Selamat pagi…! Diinfus dulu yah…”, ucap salah seorang perawat sambil merobek kemasan jarum infuse.
Rara yang saat itu masih melamun, dibuat sadar sesadar-sadarnya, tepat saat pertama kali kata jarum itu masuk ke telinganya. Ia sontak langsung menoleh pada perawat itu. Wajahnya langsung pucat seketika. Masih ingat kan betapa takutnya ia terhadap jarum suntik dan kali ini ia lagi-lagi harus berhadapan dengan rasa takutnya itu. “Ta…tapi, Sus! Kata dokternya saya udah boleh pulang kok!! Jadi nggak perlu di infuse lagi!”, tiba-tiba ia ingat kalau hari ini seharusnya ia sudah diperbolehkan pulang, sambil berharap keterangannya itu bisa menjadi mantra ampuh yang akan menyelamatkannya dari ancaman jarum suntik.
“Oh, itu…iya, ternyata ada kesalahan, jadi kamu harus diinfus lagi!! Makannya saya kesini buat nge-infus kamu”, jelas perawat itu tampak ramah.
Rara tahu perawat itu baik dan cukup ramah, tapi dengan sebatang jarum suntik ditangannya, perawat itu lebih terlihat seperti setan wanita bertanduk daripada malaikat. Benar-benar menyeramkan melebihi hantu manapun didunia, bahkan jika boleh memilih, Rara lebih baik bertemu dengan Mrs. Kunti daripada wanita yang memegang jarum suntik ditangannya, lagipula seragam mereka kan hampir sama. Sama-sama putih.


Arrrrrrrrrrrgggggggggggggghh…tidaaaakk!! Mantra-nya tidak berhasil!! Masa gue harus disuntik lagi sih!! Tau gini, kemaren kenapa pake dilepas jarumnya!! Udah tau gue paling takut sama jarum suntik!! Lagi siapa sih penemu jarum suntik!!! Kenapa juga jarum suntik!! Nggak ada metode laen yang lebih pinteran dikit apa!! Agggghhhh, nyebellllllllllliiiiinn!!!, umpat Rara dalam hati.
Sementara perawat yang satunya menyiapkan tabung infuse, perawat yang lainnya tahu-tahu sudah memegangi tangan Rara saja sambil mencari-cari pembuluh yang cocok untuk tempat penusukan jarum. Wajah Rara semakin pucat. Ia berusaha berpikir sekeras mungkin untuk menyelamatkan dirinya dari eksekusi ini. Ia merasa dirinya sudah seperti terpidana hukuman mati yang sedang menunggu ajalnya, bersiap untuk mati. Dan lucunya, ia masih sempat membayangkan semua hal itu. Membayangkan kedua tangannya diikat dan ia sudah berdiri tepat didepan tali gantungan, bersiap untuk memasukan kepalanya ke lubang tali.


Tiba-tiba ia mendapatkan ide yang cukup cemerlang. Meskipun idenya itu belum tentu bisa menyelamatkan nasibnya, tapi setidaknya cukup ampuh untuk mengulur waktu.
“Ehm…Sus, maaf nih, saya boleh nungguin kakak saya nggak sebentar sebelum disuntik? Saya paling nggak bisa sus, kalo nggak ada kakak saya! Boleh yah Sus! Sebentar lagi kakak saya ke sini kok! Hehe…”, mohon Rara sambil memasang ekspresi memelas andalannya.
Perawat itu berpikir sejenak, lalu, “Baiklah! Lima menit! Kalau lima menit kakak kamu belum dateng juga, terpaksa saya harus segera menyuntik kamu! Oke!”.


Lima menit. Ini adalah lima menit terlama dan mendebarkan di sepanjang sejarah hidupnya. Rasanya waktu berjalan begitu lambat dan setiap detiknya mampu menggerogoti keberaniannya selapis demi selapis. Ia sangat cemas.

empat menit berlalu…



tiga menit….





dua menit…….
Rara masih menghitung mundur waktu. Matanya benar-benar terfokus pada jarum jam yang menempel di dinding ruang inapnya itu.



satu menit….






45 detik…



20 detik….







tiga…


dua…

dan…
“Yuk, disuntik dulu! Udah lima menit nih, tapi kakak kamu belum juga dateng, jadi sesuai perjanjian, saya harus nyuntik kamu sekarang!”, Perawat itu tersenyum dan Rara sangat benci melihat senyum perawat itu, seolah ia begitu bahagia diatas kekalahan Rara. Yang terjadi, terjadilah, Rara pasrah. 
Perawat itu mulai melumuri bagian kulit yang akan dimasukkan jarum dengan kapas yang sudah dibasahi alkohol. Kemudian bersiap menusukkan jarumnya ke kulit Rara. Rara memejamkan mata rapat-rapat. Ia sama sekali tidak berminat untuk menyaksikan detik-detik yang membuatnya ngeri setengah mati itu. Sementara tangan kirinya hendak dimasukan jarum, tangan kanannya sibuk meremas-remas botol kaleng kosong yang kebetulan ada didekatnya saat itu. Ternyata, ketakutannya terhadap jarum suntik begitu dashyat. Kaleng minuman itu, dibuatnya penyok seketika. Benar-benar penyok, hingga bentuknya lebih mirip dengan lempengan dibanding dengan kaleng itu sendiri.
      Rara bisa merasakan ujung jarum menyentuh kulitnya. “La illaha illallaaaaaaaaaaaaahhhhhhh”, ia berteriak seolah akan dicabut nyawa.

(to be continue - read: Ch.IV part.5)

No comments:

Post a Comment