ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.4 (Kesempatan kedua, part.3)

Kertas lecek Rara - Chapter IV (part three)

‘Kesempatan Kedua’

 
Rara memutar pandangannya. Menjelajahi tiap sisi kantin. Mencari keberadaan Arga. Napasnya putus-putus. Jantungnya berdebar kencang. Mungkin efek berlari tadi. Sebuah tangan menyentuh lembut pundaknya. “Hey…”, ucap seseorang yang menyentuh pundaknya itu.
Rara membalik tubuhnya. Kini jantungnya semakin berdebar kencang. Wajahnya memucat dan tangannya mulai berkeringat dingin. Ia selalu begitu setiap kali berhadapan dengan pria yang ia sukai. Rasanya tubuh menjadi kaku seketika.
      “Hey…haloooo…!! Ra…rraaa…!!!”, pria itu mencoba membangunkan Rara dari lamunan dengan mengibas-ngibaskan telapak tangan ke hadapan wajah Rara.
“Aaa…ee…”, Rara benar-benar blank. Seolah semua kata-kata yang sudah tersusun berurutan diotaknya lenyap.
“Tadi pas gue ke kelas, gue ketemu Allut, terus dia bilang, loe nyariin gue! Ada apa?”
“E…”, Rara masih speechless.


‘Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnngggg’. Bel masuk berbunyi.
“Eh, udah masuk tuh! Ke kelas yuk”, kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Rara. Haduuuuhhhh…kenapa malah jadi itu sih yang keluar dari mulut gue!! Pinter banget sih gue, bertahun-tahun nggak ketemu sekalinya dikasih kesempatan buat bisa ngomong, malah ngomong yang nggak penting kayak gitu! Sumpah!! Pinteeerrr banget sih gue!!
Sementara Rara masih kesal pada dirinya sendiri yang lagi-lagi tak mampu mengutarakan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan pada Arga, tiba-tiba Arga menarik tangannya, membuatnya semakin berdebar-debar saat Arga menahannya pergi. Ia menatap wajah Arga. Lagi-lagi mendadak jadi patung. “Hari ini kita nggak usah masuk nggak apa-apa kan? Kita cabut ajah yah!”, tiba-tiba Arga berbisik ditelinga.
“Ta…tapi…”, Rara terbata-bata.
“Ssssttttss…!! Udah, loe ikut gue ajah yah…”.
Tanpa sadar Rara mengangguk. Ia benar-benar terbius.


Mereka kemudian berjalan mengendap-ngendap melalui pintu belakang. Ada jalan tembusan dibelakang kantin dan kebetulan pintunya tidak terkunci. Biasanya pintu itu dijaga, tetapi kali ini penjaganya sedang entah kemana, mungkin hari ini keberuntungan sedang berpihak pada mereka. Ada kebun yang cukup luas dibalik pintu itu. Jadi kalau ingin sampai ke jalan besar depan sekolah, harus menyusuri kebun itu terlebih dulu. Mereka keluar melalui pintu itu, tapi baru berjalan sebentar tiba-tiba sang penjaga pintu meneriaki mereka, mencoba mengejar. Arga menggenggam tangan Rara semakin erat agar tidak terlepas, kemudian mereka berlari menghindari sang penjaga pintu berkumis ala Hitler itu.
“Hehhh…jangannnn lariiii kaliiiannnn!!!”, penjaga itu mengayun-ayunkan pentungannya.
Mampus nih gue!! Pasti besok gue bakalan digerek ke tiang bendera sama guru gara-gara kabur dari pelajaran!! Kenapa gue mau-mau ajah lagi diajak cabuuuuuuuuuuuutt!! Hadddooooohhhh…gue kenaaaaaapppaa!!!!, Rara berbicara dalam hati, mulai panik.
“Eh, ada pintu tuh!! Kebuka!! Kita ngumpet disitu ajah yuk!!”, cetus Arga.
“Ta…tapi kan itu rumah orang, Ga!!”, Rara sedikit kurang yakin.
“Daripada ke tangkep! Emang loe mau nanti kita dihukum!! Enggak kan!! Ya udah sih, percaya deh sama gue, kita nggak bakalan kenapa-kenapa kalo ngumpet disitu!!”
Hah?? Menurut loe!! Percaya sama loe? Masih belom sadar juga, siapa yang bikin gue lari ngos-ngos-an udah kayak kucing garong yang kabur gara-gara ketauan abis nyolong ikan!! Lagi, kenapa gue nurut ajah lagi sama loe…!! Bodooohhhnya…


Tanpa banyak bicara, Arga lagi-lagi menarik Rara masuk ke pintu rumah yang kebetulan terbuka itu. Mereka akhirnya masuk ke dalamnya. Menutup pintu. Kemudian mengunci pintu itu rapat-rapat agar satpam sekolahan yang mengejar tadi tidak bisa menemukan mereka. Mungkin ia sedang kebingungan mencari mereka sekarang karena kehilangan jejak. Sekarang ia tidak akan bisa melihat, apalagi menemukan mereka, karena pintu yang mereka masuki itu dikelilingi dinding beton yang cukup tinggi.
“Kayaknya udah aman nih…!!”, ucap Arga. Napasnya masih terengah-engah. Mereka duduk lemas, bersandar pada pintu tempat mereka bersembunyi. Mereka kemudian berpandangan.
“Hahahhahaaa”, keduanya tertawa.
“Seruuu kan?”, tanya Arga.
Rara senyum. Ia masih sibuk mengatur napasnya.
Pandangan mata mereka kemudian bersatu. Arga memandangi wajah Rara. Begitu pula sebaliknya. Wajah mereka memerah dengan denyut nadi yang seakan berlari dengan kecepatan maksimal. Pandangan mata Arga beralih menatap ke arah bibir wanita yang sejak tadi ia pandangi itu. Rara yang sadar akan hal itu, semakin dibuat berdebar, tapi ia tetap diam pasif ditempatnya, sementara Arga perlahan mendekatkan wajahnya. Ujung hidung mereka lalu bersinggungan.
Aduh…kok gue jadi deg-degan gini sih! Lagipula ini kan cuma ciuman! Ciuman! Aaaaaaaa….ciuman!! Gue baru inget, kalo gue belom pernah ciuman! Duh gue musti gimana nih!! Sebentar lagi gue bakalan ciuman sama Arga!! Tiga centi’ lagi bibir gue bakalan tabrakan sama dia..!! Duh…udah deket banget lagi!!

….Tiga centi’





..Dua centi’………











………..Satu, tiga per-empat centi’….
















…..Satu centi’…..











..Setengah centi’

Duh, musti gimana nih??


Dan akhirnya……….
Kedua ujung bibir mereka bersentuhan. Rara perlahan membuka bibirnya. Entah kenapa bibirnya terlihat begitu menggairahkan, seolah gerakan bibirnya itu terlihat seperti adegan slow motion dimata Arga. Hal itu membuat Arga semakin memanas. Ia pun perlahan ikut membuka bibirnya, mengambil ancang-ancang untuk French kiss. Kemudian……

(to be continue - read: Ch.IV,part4)

No comments:

Post a Comment