ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.4 (Kesempatan kedua, part.2)

Kertas lecek Rara - Chapter IV (part two)

4
‘Kesempatan Kedua’

 
“Neng geulis, ayo gugah!! Tos jam lima pagi yeuh!! Bade angkat jam sabaraha?”, suara nyaring mama yang khas itu membuat Rara terbangun.
“Iyaa…aku banguuuuun”, Rara masih sangat mengantuk. Ia berjalan keluar dari kamar, menuruni tangga, kemudian mengambil handuk dan mandi. Matanya masih terkatup. Ia masih belum terjaga sepenuhnya. Bahkan setelah mandipun matanya masih setengah terpejam. Sepertinya ia masih benar-benar mengantuk.
Celana jeans belel dengan saku belakang yang sengaja dibuat robek-robek, kaos hitam, dan jaket army. Jenis pakaian yang sama seperti biasanya, tiap kali ia pergi ke kampus. Yah, seperti itulah style Rara sehari-hari. Tomboy. Dan ia memang nyaman seperti itu.
“Eh, ini perasaan gue ajah apa emang rambut gue panjangan yah? Jadi krinting gini bawahnya! Padahal seinget gue kemaren rambut gue nggak sekriting ini deh!”, tiba-tiba ia sadar akan penampilannya yang sedikit berbeda. “Ah, perasaan gue ajah kali yah! Whoam…”, ucapnya sambil menguap.


“Sayaaaang…Neng geulis, enggal atuh! Engke telat!”.
“Iya, mah!! Aku turun!”.
Rara menyusuri anak tangga, berlari kecil menuju dapur. Ia mengambil sebuah gelas, mengisinya dengan susu coklat kesukaannya yang ia ambil dari kulkas. Ia teguk susu itu sambill berjalan menuju ruang makan. Dan tiba-tiba….
‘Praaaaaaannnnkkkkkkk…..’. Ia menjatuhkan gelasnya. Matanya memerah seketika. Menggenang air matanya. Tanpa mempedulikan gelas kaca yang baru saja ia pecahkan itu, ia langsung berlari sekencang-kencangnya, memeluk erat sosok yang sedang berdiri di mulut meja. Ia memeluk pria itu begitu erat. Rasanya ia ingin memeluk pria itu selama mungkin. Bila perlu sampai tangannya keram.
“Ya opo toh Nduk! Ora iso napas iki!!”. Tapi Rara masih tidak mau melepaskan pelukannya pada pria berseragam biru itu. “Kamu kenapa toh Nduk? Ndak biasa-biasanya kamu kayak gini sama bapak!”, pria itu dibuat heran tiba-tiba. Ia tahu benar kalau anak perempuan semata wayangnya itu tidak pernah sesentimentil ini, apalagi sampai memeluknya dengan berlinang air mata.
Rara meregangkan pelukannya, kemudian dikecupnya pipi bapaknya itu sambil melepaskan pelukannya perlahan. “Aku kangeeeeeeeeeeeeeennnnn Bapak! Kangen banget!!”, ia berkata sambil menangis.
“Hahahhahaaaa…kenapa loe!! Tumben-tumbenan manja banget sama Bapak!! Pasti ada maunya tuh, Pak!! Jangan terbujuk oleh tangisan buayanya Rara, Pak!”, ucap Mas Bayu yang kala itu menghampiri ruang makan, yang kemudian disusul dengan kedatangan mama.


Yaa Allah…apa aku bermimpi?? Aku bisa melihat Bapak lagi. Sungguh! Aku yakin pria yang kupeluk tadi itu benar-benar Bapak! Yaa Allah, mungkinkah mu’zizat-Mu itu telah berbicara padaku?? Atau semua ini hanya mimpi??Jika ini hanya mimpi, aku berharap aku bisa tertidur selama mungkin. Aku bahkan rela jika harus menukar seluruh sisa waktuku di dunia nyata untuk semua ini, Yaa Allah!! Sungguh!, pikir Rara sejenak.
 “Pak, aku nggak mimpi kan? Ini beneran Bapak kan?”.
“Ya iyalah! Masa hantu!! Dodol loe!! Nih gue buktiin kalo ini bukan mimpi!”, Mas Bayu tiba-tiba mendekatinya dan mencubit pipinya cukup kencang.
“Awww…sakiiit tau!!!”, Rara mengusap-ngusap pipinya yang memerah karena dicubit Mas Bayu tadi. Ini bukan mimpi!! Ini nyata!! Kalau ini mimpi, pipi gue nggak akan berasa sakit waktu dicubit Mas Uyab tadi!! Terimakasih Yaa Allah, Engkau telah membuat keluargaku kembali utuh! Dan yang terpenting Engkau telah mengembalikan Bapak untuk kami, ucap syukur Rara dalam hati.


Bapak adalah lulusan akademi angkatan udara. Ia seorang penerbang. Kurang lebih sekitar dua tahun yang lalu, ia ditugaskan untuk melakukan penerbangan ke daerah konflik diluar pulau Jawa. Dua bulan setelah keberangkatannya itu, Rara dan keluarganya mendapat telepon dari kerabat Bapaknya yang kebetulan juga bertugas disana. Ibunda Rara yang saat itu menerima telepon dibuat pingsan seketika, setelah tahu bahwa pesawat yang membawa Bapak kembali ke Jakarta mengalami kecelakaan.
Pesawat itu ditemukan jatuh dikawasan hutan pulau Kalimantan dalam keadaan rusak parah. Tidak ada satupun yang selamat dari kecelakaan pesawat itu. Enam orang ditemukan tewas dan satu orang dinyatakan hilang. Bapak adalah orang yang dinyatakan hilang itu, jasadnya sama sekali tidak bisa ditemukan, bahkan sampai sekarang. Ibunda Rara dan Mas Bayu mencoba untuk lapang dada merelakan kepergian Bapak, karena berdasarkan logika sangat sulit untuk selamat dari kecelakaan seperti itu, bahkan tubuh pesawatnya saja hampir habis terbakar oleh ledakan.
Berbeda dengan Ibundanya dan Mas Bayu, Rara masih percaya, Bapak masih hidup, meski entah dimana dan ia percaya kelak Tuhan akan membawanya kembali. Dan mungkin hari ini Tuhan telah menjawab doanya itu.


Rara benar-benar dibuat terharu hari ini. Ia benar-benar bahagia. Tuhan telah memberikan kesempatan kedua untuknya. Untuk memiliki Bapak dalam hidupnya, lagi. Dalam hatinya ia berjanji, akan menuruti semua nasihat Bapak mulai hari ini. Ia sungguh menyesal karena dulu ia begitu membangkang pada Bapak. Ia tidak mau kehilangan bapak untuk yang kedua kalinya.
Seolah tak ingin mengurangi rasa bahagianya itu, Rara menunda sesi tanya jawab atas hilangnya Bapak selama ini. Walaupun dalam hatinya ia begitu penasaran ingin tahu kemana saja Bapak selama ini, bagaimana ia bisa selamat dari kecelakaan itu, bagaimana ia akhirnya bisa kembali kesini dan lain sebagainya. Terlalu banyak pertanyaan yang menumpuk selama dua tahun kepergian Bapaknya itu. Tapi ia lebih memilih untuk menyimpannya. Setidaknya untuk hari ini. Ia hanya ingin berbagi bahagia sambil melepas rasa rindunya.
“Hahahaaaa….”, Bapak tertawa menanggapi pertanyaanku tentang mimpi tadi.
“Naha bet pake acuk nu eta? Saragam kamu kamana?”.
Pertanyaan mama membuat Rara sedikit bingung. Ia tidak mengerti kenapa ia harus mengenakan seragam ke kampus, mengingat bahwa ia sudah bukan lagi anak sekolahan. “Seragam apa?”
“Yah, seragam sekolah loe lah!! Emang loe pikir sekarang loe udah kuliah!! Kalo loe udah kuliah berarti gue udah nikah dong sekarang, udah kerja, pake kemeja, nggak pake kaos oblong sambil bawa-bawa buku kuliah ribet kayak gini!! Dodol!”. Lagi-lagi Mas Bayu mencubit pipi Rara. Kali ini bukan hanya sebelah, tapi keduanya. Membuat pipi Rara sedikit memerah.
“Aduuuuhh…sakiiit tau!!”, Rara balas memukul kakaknya itu. “Seragam??? Seragam apa sih??”, tanyanya lagi. Ia tampak benar-benar bingung.
“Yah, seragam SMP kamulah sayang, neng geulis! Piraku teu acan kolot geus pohoan!! Buru diganti, nanti kaburu telat!! Acukna tos Mama gantung dibalik panto kamar kamu!”


Whaaaaaaaaaaaaaattt???? Seragam SMP!!!, sesuatu dalam dirinya bergejolak. Ia sama sekali tidak tahu harus berkata apa, merespon semua kegilaan ini bagaimana. Kembalinya Bapak yang secara tiba-tiba dan sekarang ia mengetahui bahwa ia telah kembali menjadi….’anak SMP’. Semuanya benar-benar terasa seperti mimpi baginya. Tapi ia yakin benar bahwa ini bukan mimpi. Ia berpikir, pipinya takkan terasa sakit saat kakaknya mencubitnya tadi, kalau ini benar mimpi. Ini nyata!!
Kemudian ia teringat akan permohonannya, bahwa ia ingin mengulang kembali masa SMP-nya. Dan mungkin ini adalah jawabnya. Doa itu terkabul. Benar-benar terkabul. Entah karena Tuhan yang kebetulan mendengar doanya atau karena mitos tentang bintang jatuh itu memang benar.
Hahahahaaaa….terkabul!! Bener-bener terkabul!!! Hahahahahaa..Tau gini, kenapa tadi malem nggak sekalian ajah yah gue minta jadi orang tajir sedunia!! Hahhahaaaa…
“Ngapain loe senyum-senyum sendiri!! Bukannya buruan ganti baju juga!! Mau bareng gue nggak sih loe brangkatnya?? Kalo mau bareng buruan!! Ntar telat nih!!”, Mas Bayu heran melihat adiknya yang dari tadi tidak berhenti tersenyum.
“Mauuuuuuuuuuuuu….!!”, jawab Rara semuringah, kemudian bergegas mengganti bajunya dengan seragam SMP.


“Yuk!! Kita berangkat!!”, Rara tampak semakin bersemangat dengan seragam SMP yang melekat ditubuhnya kini.
“Mah, Pak, aku berangkat dulu yah!!”, Rara berpamitan sambil mengecup tangan Mama dan Bapak.

Ia dan Mas Bayu berangkat.

***

“Haaaaaaaaaaaaaaaiiiii semuanyaaaaaaaaaaaa!!!”, sapa Rara sesampainya dipintu kelas. “Eh, ada Allllluuuut…!!”, Rara langsung duduk disebelah Allut. Allut terlihat sedikit cemas. Ia segera mengamankan barang-barang miliknya. “Lha, kenapa loe Lut!! Takut banget gue ambil! Hahahaha…”.
“Nih, loe liat! Perbuatan loe!!”, tiba-tiba Allut mengeluarkan kotak pensil miliknya, mengangkatnya ke depan wajah Rara. Menunjuk-nunjuk tulisan pada bagian depannya. Membuat Rara menahan tawa.
Tulisan itu bertuliskan ‘Allut Pithecan Tropus Erectus’. Rara ingat betul, dulu saat dia masih SMP, ia memang terkenal paling jahil. Hampir semua temannya pernah jadi korban kejahilannya, guru-guru saja tidak luput dari ulahnya, bahkan karena terlalu banyaknya, ia sampai lupa siapa-siapa saja korbannya dan dosa-dosa kejahilan apa saja yang pernah ia lakukan pada mereka. Parahnya lagi, kejahilannya itu masih berlanjut, bahkan sampai setelah ia lulus SMA.
Allut adalah orang yang paling sering jadi tumbal kejahilannya. Bukan karena Rara sensi atau tidak suka pada Allut, lantas mengerjainya, tapi hasratnya untuk melancarkan strategi-strategi kejahilannya itu memang sulit untuk di rem. Sialnya, Allutlah yang kebetulan duduk tepat dibelakang kursi Rara, jadi tentu saja ia yang paling sering termakan kejahilan Rara. Dan tentang tulisan ‘Allut Pitechan Tropus Erectus’ pada tempat pensil itu adalah salah satu bukti kejahilan Rara.
Masih jelas dalam ingatannya, ia memang pernah menulisi tempat pensil ‘si malang Allut’ dengan tipe-x. Lucunya Allut benar-benar pasrah saat itu. Rara masih ingat betapa kesalnya Allut saat itu. Lagipula, siapa yang tidak akan marah jika barangnya dirusak. Meskipun begitu, diam-diam Rara sangat salut dengan temannya yang bernama lengkap, Allut Sista itu mengingat ia tidak pernah menaruh dendam meski kesabarannya sudah diuji mati-matian dengan kejahilan Rara selama ini.
Mengenai namanya yang cukup ajaib itu, Allut Sista, yang merupakan sebuah istilah dari kepanjangan ‘Alat Utama Sistem Senjata’, Rara masih sering berpikir apa yang membuat ayahnya lebih memilih untuk memasukan kata senjata daripada unsur feminim ke dalam nama anak perempuannya itu. Rara yakin pasti ayahnya punya alasan yang kuat akan hal itu. Ia ingin sekali menanyakan hal itu kelak.


“Uh, Allut…maaf yah! Saya khilaf!”, Rara memasang muka tak berdosa memelasnya,  menyadari kesalahannya itu. Sebenarnya dalam hati ia sudah tertawa terbahak-bahak, tapi ia menahannya.
“Hah…dasar!! Kampreeetttoos!! Untung loe sering ngasih gue contekan, kalo enggak, udah gue graok loe!”, canda Allut.
“Tenang Lut, hari ini gue nggak bakal jahilin loe!! Hahaha…Jadi loe aman naro barang-barang loe dimeja!! Hahahaha…”.
“Ogah…barang-barang gue musti tetep gue amanin!! Loe kan nggak bisa ditebak!! Selalu mencurigakan!!”
“Sial..luh!!”.


Seorang pria, bertubuh tinggi, berkulit putih, melintasi depan meja tempat Allut dan Rara duduk. Pria tertampan dikelas. Tertampan diangkatannya lebih tepatnya dan kebetulan ia adalah ketua kelas mereka. Entah bisa dibilang beruntung atau tidak, tapi dulu saat Rara kelas tiga SMP, pria itu pernah menjadi pacarnya. Sayang hubungan mereka tidak lama. Rara memilih untuk pisah. Ia merasa masih belum siap berpacaran saat itu dan merasa pria yang bernama Tara itu mungkin bisa lebih bahagia jika dengan yang lainnya. Hubungan mereka memburuk setelahnya.
Rara bisa mengerti, jika Tara marah atau sakit hati karena Rara memutuskannya tanpa sebab. Itupun hanya lewat telepon. Sebenarnya, kalau boleh jujur, Rara tidak ingin memutuskan Tara. Ia tampan, tinggi, putih, bentuk badannya juga bagus, baik, manis, dan bisa dibilang cukup romantis, benar-benar tipe pria idaman. Hanya wanita bodoh saja yang menyia-nyiakan pria seperti itu, dan lucunya wanita bodoh itu adalah Rara sendiri. Dan Rara sadar akan betapa bodohnya ia saat itu. Tapi mungkin memang sudah jalannya saja yang seperti itu.
“Hy, Tar!”, sapa Rara pada mantan pacarnya itu.
“Hy…”, Tara membalasnya dengan senyuman, seolah tidak pernah terjadi perang dingin diantara mereka. Ya terang saja, Rara kan kembali ke masa saat ia masih kelas satu, jauh sebelum mereka akhirnya berpacaran.
“Arga!!”, akhirnya ia ingat akan tujuan utamanya kembali ke masa SMP-nya.
“Kenapa Arga?”, tanya Allut.
“Loe liat Arga nggak Lut? Gue ada perlu nih sama dia! Hehe…”.
“Oh…tadi sih gue liat dia lagi dideket kantin!”.
“Iya yah…ya, udah deh, gue nyamperin dia dulu yah! Urgent nih..!! Hehehe…”.
Rara meninggalkan Allut, bergegas menuju kantin.

(to be continue - read: Ch.IV, part 3)

No comments:

Post a Comment