ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.3 (Misguided Ghost - part.4)

Kertas Lecek Rara - Chapter III (final part)

3
Misguided Ghost


 
Klimaks yang membuatnya sangat tercengang adalah ketika preman itu berteriak disamping telinganya dan berkata,” Heh!! Jaga yah tuh bacottt loe!! Loe pikir gue doyan sama loe apa!!! Sorry, gue nggak berminat sama cewek!!”.
Sontak Rara langsung terbelalak. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Speechless. Kalau preman itu nggak berminat dengan wanita itu berarrrrtttiiii………….
Tepat setelah memikirkan hal itu, secara tidak sengaja Rara sempat melihat salah satu tato di leher preman itu. Inilah satu fakta yang lebih mencengangkannya lagi. Tato itu bergambar sebuah love berwarna merah yang dikelilingi duri-duri mawar, dengan bunga mawarnya juga tentunya, dan bahkan ada gambar panah di ujung atas gambar love itu. Ukuran tatonya memang tidak terlalu besar, tapi dengan ukuran sebesar itu sudah cukup untuk membuatnya bisa membaca kalimat apa yang tertulis pada tato itu. Tulisan yang diukir tepat diatas gambar love terpanah itu. Sebuah kalimat. Dan kalimat itu bertuliskan,” RICKY MARTIN,I LOVE YOU! FOREVER AND ALWAYS!”. Sepertinya, kalimat ditato itu sudah cukup menjelaskan maksud perkataan preman tadi tentang ia yang tidak berminat pada wanita. Mengetahui hal itu, Rara sudah ingin tertawa saja, tapi ia tahu sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk itu. Nyawanya masih diujung tanduk.
“Nggak usah deh loe pikir yang macem-macem!!! Buruan, loe serahiiiin aja barang-barang loe, kalo loe masih sayang nyawa!!!”, lanjut preman itu.
God, for, this time, please save me…!! Im begggggiiing you!!, Rara berdoa dalam hati.


Entah karena Tuhan kasihan padanya saat itu atau apa, tiba-tiba ia teringat pada sebuah doa yang pernah diajarkan ayahnya untuk ia amalkan. Doa yang diwarisi secara turun-temurun dari buyutnya yang bergelar Raden dan konon terkenal sakti di zamannya. Secepatnya ia baca doa itu dalam hati sambil harap-harap cemas.
Entah karena doa-nya yang memang manjur atau karena memang Tuhan masih belum rela kalau Rara harus menyentuh surganya sekarang, tiba-tiba saja Rara ingat pernah diajari satu jurus jitu oleh senseinya. Sensei Carok. Ia masih hapal betul nama sensei idolanya itu. Bisa dibilang Rara termasuk orang yang beruntung, karena tidak semua murid diajari jurus yang satu itu oleh sensei. Dan kebetulan, situasi dan posisi lawannya memang lagi pas sekali untuk mempraktekan jurus jitu tersebut. Bersyukurlah ia pernah mempelajari jurus aikido itu.
‘Bruuuuukkkkk….!!!!’. Seketika preman itu dibuatnya jatuh terpelanting dalam satu gerakan. Yes, berhasil!! Ternyata nih jurus bener-bener ampuh!! Alhamdulillah Yaa Allah!! Makasih Sensei Carok!! You’re the best!!!, puji syukurnya dalam hati.
Rara langsung terpikir untuk menginjak alat vital preman itu, sesaat setelah preman itu dibuatnya tersungkur ditanah. Sementara preman itu meringkuk kesakitan sambil mengeluarkan kata-kata sensor, Rara segera mengambil kesempatan itu untuk ambil langkah seribu. Lariiiiiiiiiiiiiiii….Lari sejauh mungkin.
But, hey, ternyata preman itu masih sanggup berjalan dan berusaha mengejarnya, sambil berteriak bangsat dan kata-kata sensor lainnya, ditambah tidak kelupaan sambil memegangi anu-nya.
“Hahahhaaaa…Loe mamam dah tuh!!!”, ucap Rara pelan sambil membayangkan betapa ngilunya anu milik si preman yang tadi ia injak itu. Sorry dorriii morriiii nih, kepaksa Om!!! Maapin aku Yaa Allah…tak bermaksud…By the way, gue masih harus running away nih!!, pikirnya.


Setelah cukup lama kejar-kejaran dengan preman, akhirnya Rara melihat sebuah rumah dengan pintu terbuka. Tanpa berpikir panjang lagi, langsung saja ia masuk ke dalamnya. Sejenak ia teringat kembali masa kecilnya, saat itu adegannya kurang lebih sama persis seperti ini. Adegan kejar-kejaran. Bedanya saat ia masih kecil dulu yang mengejarnya adalah seekor monyet. Monyet milik tetangganya yang lepas. Dan karena saking ketakutannya ia sampai harus menyelonong masuk ke rumah orang yang memang saat itu pintunya sedang terbuka. Kalau tidak salah rumah itu milik seorang purnawirawan bernama Narto. Rara sering menyapanya dengan panggilan Pakde’ Narto. Yah, kurang lebih kejadian yang menimpanya saat ini agak mirip dengan kejadian tempo itu, hanya saja bedanya monyet yang mengejarnya kali ini lebih besar dari monyet zaman dia masih kecil dulu.
      Jantungnya masih dag dig dug. Badannya terasa benar-benar lemas. Ia jongkok. Menunduk. Lagi-lagi memejamkan mata untuk kesekian kalinya. Ia benar-benar takut tertangkap oleh preman itu. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau ia sampai tertangkap lagi, karena mungkin Tuhan belum tentu akan menolongnya dua kali. 
“Aaaarrrrhhhg….pleasssee…jangan apa-apain gue!! Ampppuuuuunn…”, teriaknya spontan saat ada yang nyentuh pundaknya.
“Hey, loe baik-baik aja kan?”. Ia tidak tahu apa pendengarannya sudah error atau memang kenyataannya ini bukan suara preman yang tadi mengejarnya. Suaranya benar-benar berbeda.
“Loe kenapa?”, tanya suara itu lagi.
Rara langsung mendongak ke arah orang itu.
Hey!! Itu kan orang yang tadi ketemu sama gue di bus way!! Mas-mas songong yang nyebelinnya minta ampun!! Mas-mas nggak tau diri yang udah tidur seenaknya dipundak gue tadi!! Kok…….??????, ia berkata dalam hati.
Tapi, bukannya menjawab pertanyaan pria itu, Rara malah menangis. Kencang. Mungkin ia sudah terlalu depresi dengan semua hal mendebarkan yang menimpanya hari ini, hingga ia sampai termehek-mehek seperti itu.


Kurang lebih sekitar setengah jam ia disana. Semakin lama ia bersama pria itu, ia semakin sadar kalau ternyata pria yang ia pikir menyebalkan itu, tidak semenyebalkan seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Pria itu tak lagi mempertanyakan kenapa Rara bisa sehisteris tadi. Ia tidak mau memaksa Rara untuk bercerita. Ia mencoba mengerti. Ia pikir mungkin apa yang dialami Rara begitu buruk. Terlalu buruk bahkan untuk mereka ulang kejadian yang menimpanya. Ia mempersilakan Rara untuk duduk di sofa. Ia berikan segelas coklat hangat. Dan bukannya langsung meminumnya atau mengucapkan terimakasih, Rara malah berkata, “Gue mau es krim!”, masih sambil sesegukan.
Pria itu tersenyum kala mendengar permintaan Rara itu. Ia merasa lucu. Baru kali ini ia menemui gadis seperti Rara. Gadis asing yang masuk tanpa permisi ke dalam rumahnya, menangis saat ditanya kenapa, dan yang lebih menggelikannya lagi gadis itu malah meminta es krim saat ia menyodorinya segelas coklat hangat, padahal ia tahu benar tubuh gadis itu menggigil dan basah kuyup, tapi kenapa es krim…Ia masih tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu. Unik.
Pria itu pun menyodorinya se-cup es krim pada Rara, “Nih, rejeki loe!”. Rara mengambil es krim itu tanpa ekspresi dan langsung menyantapnya dengan lahap hingga habis. Perasaannya jauh lebih tenang sekarang.
      “Ada yang bisa gue bantu?”, pria itu bertanya lagi.
“Gue mau pulang!”.
“Rumah loe dimana? Nanti gue anter!”.
“Tolong bantuin gue nyari taxi ajah!”.
“Beneran? Nggak mau gue anter?”, ia tampak khawatir.
Sebenarnya Rara mau-mau saja diantar pulang oleh pria itu, tapi ia tidak mau mengambil resiko. Walaupun pria itu terlihat baik, tapi menurutnya semua hal yang terjadi hari ini sudah sangat cukup membuatnya stress dan ia tidak mau kalau sampai pria yang menurutnya asing itu ikut ambil bagian dari penambahan tingkat kestressannya nanti.
“Iyah. Gue naek taxi ajah.”
Pria itu memesankan sebuah taxi sesuai dengan permintaan Rara. Sudah lima belas menit ia menunggu taxi datang dan selama lima belas menit itu pula ia benar-benar diam. Tidak berbicara sepatah katapun. Ia masih merasa blank. Jadi yang ia lakukan hanya melamun sambil menunggu taxi-nya. Dan lucunya, pria itu juga diam saja dari tadi. Dengan kata lain, mereka diam jama’ah. Yah, mungkin karena ia juga bingung harus berkata apa.


Taxi-nya datang.
Pria itu mengantarnya hingga ke samping taxi, membukakan pintu untuknya. Baru kali ini ada pria yang membukakan pintu untuknya, bahkan dulu saat ia masih bersama Satya, Satya saja tidak pernah melakukan hal itu untuknya. Sejenak ia merasa pria itu cukup manis. Ia masuk ke dalam taxi. Sebelum pria itu menutup pintu, ia sempat menundukkan kepalanya, memandangi wajah Rara agak lama. Senyum. Kemudian berkata, “hati-hati yah!”. Rara hanya membalasnya dengan senyum. Pria itu lalu menutup pintunya.
Sesaat setelah taxi melaju, Rara sempat menengok ke arah belakang kaca. Ia bisa melihat pria itu masih berdiri disana, melambaikan tangan padanya sambil tersenyum simpul. Mendadak wajah Rara memerah. Ia lalu membuang pandangannya lagi ke depan tanpa membalas lambaian tangan pria itu. Pikirannya masih terasa kosong. Linglung.
“Kemana nih, Mbak?”, kata supir taxi.
“Pulang”.


Ditengah perjalanan pulang, Rara baru sadar, Ya ampunn…gue lupa nanya siapa namanya sama nomer handphone-nya!! Duh, begoooooo banget sih gue!! Gue kan belom bilang makasih…!!!
Siapapun loe, dimanapun loe, makasih yah.
Tiba-tiba….”Mbak..mbak..kok bau pesiiing yah??”, tanya supir taxi sambil mengendus-ngendus. “????”

*******

2 comments:

  1. like it... terkesan seperti pengalaman pribadi... :)

    ReplyDelete
  2. hmm, cerita ini..

    #salut

    ReplyDelete