ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.3 (Misguided Ghost - part.1)


Kertas Lecek Rara - Chapter III (part. one)

3
Misguided Ghost


Samar-samar terdengar suara orang memanggil. Matanya terbuka perlahan. Tercium aroma minyak kayu putih yang cukup menyengat. Indera penciuman Rara memang cukup tajam, khususnya untuk minyak yang satu itu, minyak kayu putih. Rara paling benci aroma minyak kayu putih. Ia dibuat seperti ingin muntah tiap kali mencium aromanya. Tapi kali ini sepertinya ia harus berterima kasih kepada sang penemu minyak tersebut, karena berkat temuannya itulah ia akhirnya bisa tersadar dari pingsan.
“Aku kenapa Mbok?”, Tanyanya sambil memijat-mijat kepala dengan sebelah tangan. Ia masih merasa pusing.
“Tadi, Non itu pingsan! Mbok tadi nemuin Non disamping tempat tidur. Awalnya Mbok kira Non tidur, tapi pas Mbok bangunin, nyuruh Non pindah ke tempat tidur, eh Non-nya nggak bangun-bangun! Jadi Mbok pikir Non pingsan, makannya Mbok langsung kasih bau-bau-an minyak kayu putih biar Non sadar! Maaf ya Non!”, jelas si Mbok yang tahu benar majikannya yang satu itu benci sekali aroma minyak kayu putih.
“Iya Mbok, nggak papa! Makasih yah, mbok!”
“Di minum dulu itu teh manisnya Non biar agak enakan badannya!”
“Makasih yah, Mbok”, ucap Rara sambil menyeruput teh hangat buatan si Mbok.
“Non, baek-baek aja kan? Perlu mbok panggilin dokter nggak Non? Atau perlu Mbok teleponin nyonya biar nyonya pulang?”
“Nggak Mbok. Makasih. Nggak usah! Jangan bilang-bilang mama ya Mbok kalo aku kayak gini.”
“Iya Non. Tapi, Non jangan sedih terus dong! Si Mbok jadi ikutan sedih ngeliat Non kayak gini! Non kan udah Mbok anggep kayak anak Mbok sendiri! Wong dari Non kecil itu si Mbok kok yang nyapih Non.”
“Iya Mbok. Makasih yah!”
“Mbok, aku mau lanjut istirahat dulu yah! Mbok dilanjut ajah kerjaannya!”
“Ya udah kalo gitu Mbok tinggal dulu ya Non! Nanti kalo perlu apa-apa tinggal sebut nama Mbok tiga kali, nanti pasti Mbok langsung dateng! Hehe..”, canda mbok.
“Siap Mbok”, balas Rara dengan gaya hormat ke si mbok.


Rara kembali membaringkan tubuhnya. Memandang ke langit-langit kamar. Ia pasangkan headset ke telinga, kemudian menyalakan radio dari handphone-nya.
“Nah, tadi kan kita udah ngedengerin profilnya. Terus udah sempet ngobrol-ngobrol juga. So…tanpa nunggu lama-lama lagi, mending sekarang langsung kita dengerin aja kali yah, single terbarunya! Lagu yang satu ini cocok banget buat kalian yang lagi butuh spirit gara-gara abis ditinggalin pacar! Only for you girls, cinta cukup sampai disini”, ucap sang penyiar.
Rara bisa mendengar suara vocalis wanita itu dengan jelas. Bahkan terlalu jelas hingga kata-kata dalam lirik lagu yang dinyanyikannya itu seakan sedang menelanjangi perasaannya. Lagu yang berjudul cinta cukup sampai disini itu benar-benar mampu menggetarkan hatinya. Sebenarnya suara vocalis-nya biasa saja, lagi pula lagu itu hanya diiringi dengan suara gitar. Benar-benar minimalis. Tapi dengan lagu yang sesederhana itu sudah cukup menamparnya keras-keras. Lagu itu masih ditelinganya. Menggema dihatinya.

Apalagi yang kau tangisi
Jika yang dihati tak lagi peduli
Sampai kapan kau akan begini
Terpuruk perih, ratapi ini…

Kumemang tak lagi teduhkanmu
Tapi janganlah bersedih, hanya karenaku
Sampai kapan kau ‘kan menyiksa diri
Sadari saja aku takkan kembali…

Cinta cukup sampai disini
Relakan aku pergi
Kutakkan kembali…

Air matanya masih menetes sekalipun lagu itu sudah berhenti dinyanyikan. Ia merasa lagu itu telah mewakili perasaannya. Ia menghela napas panjang. Tanpa sengaja, lagu itu membuka pikirannya. Ia sadar, dua hari adalah waktu yang cukup untuk mengurung dirinya dikamar dan semakin lama ia mengasingkan diri, ia akan merasa semakin terpuruk. Kali ini ia putuskan untuk pergi keluar. Minimal dengan begitu mungkin ia akan mampu mengalihkan pikirannya dari Satya.
Ia beranjak dari tempat tidurnya. Mandi. Bersiap-siap. Pergi.

***

Rara mengetatkan balutan syal dilehernya. Sebisa mungkin menjaga agar tubuhnya tetap hangat. Sebenarnya, hari ini udaranya tidak terlalu dingin. Cerah. Tapi bukan berarti terik. Hanya saja kondisi tubuhnya yang memang sedang demam menjadi lebih sensitif terhadap udara, terlebih lagi bila tubuhnya terhembus angin.
Kali ini Rara tidak memiliki tujuan khusus. Ia hanya ingin mengikuti kemana langkah kaki akan membawanya. Ia hanya ingin pergi ke tempat yang tidak ada satu orang pun yang akan mengenalinya atau sebaliknya. Beruntunglah ia bukan seorang artis atau semacamnya, jadi untuk mencari tempat seperti itu bukanlah hal yang sulit pastinya.
Hari ini busway tampak lenggang. Sepi. Mungkin karena hari ini bukan hari libur dan sekarang bukan waktu jam orang berangkat kantor atau sebaliknya. Rara bisa melihat banyak kursi kosong disana. Ia duduk disalah satunya. Tidak ada orang dikanan kirinya. Dan memang itu yang ia harapkan.
Ia merogoh-rogoh isi tas, mengambil 6120c-nya, menyalakan music player yang ada di handphone-nya. Ia bisa mendengar Hayley, vocalist Paramore, menyanyikan lagu ‘misguided ghosts’ melalui earphone yang melekat ditelinganya dengan sangat jelas. Bagaimana mau tidak terdengar jelas bila ia memaximumkan volume-nya seperti itu, bahkan suaranya saja sampai terdengar ke keluar. Kalau orang normal mungkin sudah dibuat hampir tuli mendengar lagu sekeras itu. Yah, tapi itulah Rara. Tidak ada yang pernah tahu jalan pikirannya seperti apa.
‘Misguided ghosts’. Lagu itu terdengar bersahabat dengannya kali ini. Judulnya seolah sedang merefleksikan apa yang ia alami sekarang. Bagaimana tidak, hari ini saja tingkahnya sudah seperti hantu penasaran yang gentayangan tanpa tujuan. Zombie Disorder.  Rara biasa mengunakan istilah itu untuk teman-temannya, bila mereka sudah menunjukan gejala-gejala menyerupai zombie. Tahu kan, zombie!­ Tidak makan, tidak tidur, pikiran kosong dan sebagainya yang mendekati perilaku makhluk bernama zombie itu sendiri. Dan lucunya, sebutan yang pernah ia buat untuk teman-temannya yang saat itu sedang patah hati, sekarang malah melekat pada dirinya.
Ia lipat tangannya ke dada sambil memejamkan mata. Tenang sekali rasanya, tidak bisa mendengar apapun selain suara lagu dari music player-nya itu. Rasanya seperti sedang melakukan perjalanan astral. Suara musik terdengar menjauh perlahan, hingga akhirnya seolah suara itu hilang tak terdengar. Ia tertidur.

***

Entah sudah berapa lama Rara memejamkan mata, yang ia tahu ia merasakan ada sesuatu yang memberati pundak kirinya. Dan benar saja. Saat ia membuka mata, melirik ke pundak kirinya, ia menemukan kepala seseorang bersandar disana dengan mata tertutup.
Weewww….sejak kapan pundak gue available buat tempat sandaran kepala orang tidur! Pantes ajah tadi gue sempet mimpi buruk. Mimpi ada monyet babon nangkring dipundak gue. Sampe-sampe rasa pegelnya udah kayak nyata banget!! Ternyata eh ternyata ada kepala babon beneran nemplok disitu!”, hatinya dongkol.
Sekilas ia perhatikan wajah pria yang bersandar dipundaknya itu. Wajahnya memerah sesaat. “Uuumm…ganteeeeeennng”, tanpa sadar kata itu terucap pelan dari bibirnya.
Nggak…nggak!!! Tetep ajah, mau guuuuuuaaantengnya kayak apaan kek, tetep ajah nih orang udah songong! Masa minjem pundak gue nggak ijin dulu! Emang pundak gue fasilitas negara apa, bisa dipake gitu aja!! Nyebeeeellliiiiinnnn!!!, ucapnya dalam hati sambil geleng-geleng kepala, saat ia sadar akan ucapannya tadi yang secara tidak langsung telah mengakui ketampanan pria yang sedang bersandar dipundaknya itu.
Ia coba bangunkan pria menyebalkan itu secara sopan, “Mas..mas…”, ucapnya sambil menggeser pelan kepala pria itu dari pundaknya. Tapi bukannya segera bangun, pria itu malah semakin merapatkan kepalanya ke pundak Rara.
Sial!! Bukannya bangun nih si mas mas, malah makin nemplok ajah dipundak gue!! Pake acara ngorok, ngiler pula!! Euuww…!! Sumpah!! Bener-bener deh nih orang, nyebeliiiiiiinnnn buaaaanget!, matanya bicara. Seolah aura kekesalannya itu benar-benar terpancar dari matanya.


Kekesalan Rara tidak berhenti hanya disitu. Kali ini ia menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang mengamati gerak-geriknya dari tadi. Ada yang tertawa cekikikan sambil bisik-bisik dengan sebelahnya, beberapa orang lainnya lebih memilih untuk memandanginya dengan tatapan aneh dan bukan hanya itu saja ternyata, puncak dari semua tatapan menyebalkan itu adalah saat seorang tante-tante yang kebetulan duduk tepat disebelahnya menyolek-nyoleknya lalu berkata, “Itu pacarnya yah, Mbak! Mesra banget sih! Jadi inget jaman saya masih muda dulu! Hehe…Cocok, mbak! Mbak-nya cantik, mas-nya ganteng! Hiihiiii….”
Anjrooot!!! Apa-apaan nih tante! Nggak tau apa gue lagi dongkol mampus!! Sumpah yah, ngeselin abis!! Huff… sabaaarrr… sabaarr…!! Rara bisa melihat tante-tante itu tersenyum begitu lebaaaaaaaaaaaaaaarrrrr. Dan senyumnya itu benar-benar terlihat menyebalkan. Membuatnya semakin kesal. Berhubung Rara memang sedang malas berbicara, jadi ia hanya memberi tante-tante itu senyum paksa terbaiknya.
Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada pria yang masih bersandar pulas dipundaknya. Kali ini pundaknya sudah benar-benar terasa keram. Ia masih kesal dengan pria itu. Liat ajah! Tunggu pembalesan gue! Hahahahaaa, otak liciknya jalan.

Ia coba bangunkan pria itu lagi. Kali ini ia lebih cerdik. Ia pejamkan mata. Berpura-pura layaknya sedang tertidur. Kemudian…Plaaaaaaakkkkkkkk!! Sebuah tamparan mendarat tepat diwajah pria itu. Dan benar saja, kali ini taktiknya benar-benar ampuh. Sukses. Berhasil. Pria itu dibuat bangun seketika. Rara bisa mendengar pria itu berteriak ‘aaawwWww’ sesaat ia membuat cap lima jari diwajah pria tersebut. Sadar bahwa pria itu sudah bangun, buru-buru ia lanjutkan acting-nya. Kali ini ia pura-pura mengiggau.
“Dasar kamu! Ternyata, kamu selama ini selingkuh yah dibelakang aku!!! Tegaaaaanyaa!!! Tega banget sih kamu sama aku!!!”, teriaknya pada pria itu sambil menarik-narik rambut sang pria agar terlihat lebih meyakinkan bahwa ia memang sedang mengiggau.
Rara berusaha keras menahan tawa saat itu, terlebih lagi saat ia mendengar teriakan susulan dari pria tersebut. Rasa kesalnya kini sudah terbayar dan ia merasa benar-benar puas sudah memberikan pelajaran pada pria itu.


Ia masih melanjutkan acting-nya. Kali ini ia berpura-pura seperti baru bangun tidur sambil memasang wajah innocent. Tapi, lagi-lagi ia dibuat kesal dengan tingkah pria itu. Karena ternyata pria itu tidak terima dengan perlakuannya. Pria itu marah.
“Eh, yang bener ajah dong!!! Tidur, sih boleh tidur, tapi jangan nyusahin orang dong! Gara-gara loe, pipi gue sampe merah nih!!! Loe pikir nggak sakit apa!! Sakit tau!!!”.
Yeee….songong nih mas mas, malah ngomelin gue lagi!! Nggak sadar apa siapa yang nyusahin orang duluan!! Makin dongkol ajah gue!!! Huff….Sabaaaarrrr…sabaaarrrr…, Rara menahan emosinya dalam hati. “Aduuuh…sakit yah mas? Maaf yah, tadi saya nggak sengaja, namanya juga lagi ngelindur, yah mana sadar kalau lindurannya makan korban! Hehe…”, bela Rara masih dengan muka super innocent-nya. Ia berikan senyuman mautnya pada pria itu.
“Iyah..iyah, gue maafin! Sorry juga tadi gue udah sempet bentak-bentak loe!!”, pria tersebut balas senyum.
Weewwwww…nggak banget sih tuh orang!!! Ganteng sih, tapi tetep ajah nyebelin. Nggak lagi-lagi deh gue ketemu loe, Mas!!!!! Hah..!!, batinnya. Tiba-tiba ia sadar akan sesuatu hal. “Ya ampuuuuuuunnn….dimana nih gue??”, tanpa sengaja kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ia putar kepalanya. Memperhatikan sekeliling.
“Harmoni”, kata tante-tante disebelahnya.
Oh my god!!!! Gue bener-bener ketiduuuurrraaannnn..!!! Padahal tadi gue baru aja kepikiran mau ke Matraman buat hunting buku, tau-tau udah sampai sini aja! Weeww..kalau begini mah nanggung!! Mending gue terusin ajah sampai ke Kota sekalian!!, pikirnya. Jiaaaaaaaaaaaaaahhh….pake acara ujan lagi!!!Terimakasih Tuhan, Engkau telah membuat penderitaanku semakin lengkap saja!!.

***


Terminal busway Jakarta Kota. Kali ini hanya gerimis.
Aaa…gerimiisss…! Dari kecil aku sangat suka dengan gerimis. Mendiang kakekku pernah bercerita perihal gerimis saat umurku masih enam tahun. Menurut ceritanya, zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita cantik bernama Cerne. Cerne adalah puteri kesayangan seorang Raja Romawi. Cerne yang saat itu masih berumur dua puluh tahun, jatuh cinta pada seorang prajurit kerajaan kepercayaan ayahnya. Beruntung, perasaan cinta Cerne itu terbalas, karena ternyata sang prajurit juga memendam perasaan yang sama terhadapnya selama ini.
Permasalahannya adalah kerajaan memberlakukan larangan keras percintaan beda kasta. Cerne yang tahu benar akan hal tersebut, akhirnya memutuskan untuk menjalin cinta diam-diam. Dengan pengawalan yang seketat itu, sangat sulit bagi mereka untuk bertemu dan menghabiskan waktu romantis untuk berduaan layaknya pasangan lain. Hanya dengan berkirim-kiriman suratlah satu-satunya media yang bisa mereka gunakan untuk berbagi kasih dan menyatakan kekaguman mereka antara satu dengan yang lainnya.
Lambat laun akhirnya, hubungan mereka tercium oleh ayah Cerne. Ayahnya murka dan memberi titah untuk menghukum mati sang prajurit esok hari tepat saat matahari terbit. Mengetahui hal tersebut, Cerne pun mencari cara untuk menyelamatkan pria yang dicintainya itu.
Ia mendatangi seorang penyihir sakti satu malam sebelum prosesi penggantungan. Ia memohon agar penyihir itu mau membantunya untuk menyelamatkan sang prajurit. Penyihir itu hanya memberi Cerne satu pilihan dan pilihan tersebut membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Cerne percaya, cinta memang butuh pengorbanan. Ia akan lakukan apapun untuk menyelamatkan pria yang dicintainya itu, bahkan bila harus mengorbankan nyawanya sekalipun. Ia akhirnya setuju untuk menukar nyawanya agar pria yang dicintainya itu bisa tetap hidup. 
Cerne pulang dengan membawa sebotol ramuan ajaib yang ia peroleh dari sang penyihir. Ia harus meminum setengah botol ramuan itu sebelum matahari terbit dan yang setengah botolnya lagi harus ia minumkan pada jasad sang prajurit melalui mulutnya, dari mulut ke mulut.
Esok pun tiba, sebelum matahari terbit, ia minum setengah ramuan ajaib, kemudian pergi ke bukit. Malam sebelumnya, ia telah menyuruh pelayan kepercayaanya untuk membawakan  jasad sang prajurit ke bukit tersebut segera setelah prosesi eksekusi berakhir. Cerne lekas melakukan apa yang dikatakan penyihir tepat setelah jasad sang prajurit dibaringkan dihadapannya. Ia pandangi wajah pria yang ia kasihi itu. Ia minumkan sisa ramuan ajaib pada sang prajurit dari mulut ke mulut. Setetes air jatuh dari matanya. Cerne mengecup kening pria itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya, seraya berkata ‘aku tidak pernah menyesal karena aku telah mencintaimu’ sebagai ucapan perpisahan.
Sang prajurit membuka kedua mata, setelahnya. Namun terlambat. Wanita yang ia cintai itu sudah tak lagi bernyawa. Terbaring tak bernafas diatas tubuhnya dengan selembar surat yang ia genggam.


 Surat terakhir dari Cerne, wanita yang dicintainya.
Dalam suratnya, Cerne berkata, ”Kau masih ingat, beberapa hari yang lalu, saat kau menunjukan harta berhargamu padaku? Sebuah medali pemberian ayahku atas prestasimu. Medali yang terbuat dari pecahan batu bulan dengan butiran batu ruby disekelilingnya. Aku yakin medali itu memang berharga, mengingat medali itu adalah penghargaan tertinggi di negeri kita, penghargaan  yang merupakan impian setiap prajurit, dan aku juga yakin untuk mendapatkannya bukanlah hal yang mudah.
“Kau masih ingat, malam itu kau memintaku untuk menunjukan apa harta berhargaku padamu? Kala itu aku meraih sebuah cermin yang kebetulan ada didekatku. Aku mengklaimnya sebagai hartaku yang paling berharga yang tidak bisa tergantikan oleh apapun didunia ini. Kau tertawa. Tawamu semakin menjadi-jadi saat aku bilang, cermin itu adalah hidupku. Dan aku bilang, aku serius akan hal itu. Cermin itu hidupku! Aku rela menukarnya dengan semua harta yang aku miliki, bahkan nyawaku sekalipun, jika memang itu perlu. Kau tahu kenapa aku bilang cermin itu hidupku?
“Andai saja aku masih bisa mengerakan tubuhku hari ini, aku akan mengambil cermin itu dan mengarahkannya ke hadapanmu! Itulah alasanku kenapa memilih cermin sebagai hartaku yang paling berharga. Karena ada kau didalamnya!
“Hidupku menjadi harta yang paling berharga karena kau ada, karena kau ada didalamnya dan jika kau tiada, itu bukan lagi hidup! Tapi, mati! Karena kaulah hidupku. Dan kelak saat kau dapati aku menukar napasku dengan napasmu, berjanjilah kau akan menjaga hartaku yang paling berharga itu, untukku. Hidupmu.
“Aku tidak mati, hanya jasadku. Selama kau masih menyimpan cinta untukku, maka aku akan tetap hidup dalam hatimu. Dan saat kau mengingatku, itu akan menjadi saat dimana aku akan kembali menemuimu.
“Dengan cinta abadi yang takkan pernah kusesali. Cerne.”


Konon tepat disaat Cerne menghembuskan napas terakhir, untuk pertama kalinya tetesan-tetesan air mulai berjatuhan dari langit. Karena memang pada masa itu hanya ada musim panas atau kemarau. Rakyat setempat yang saat itu hanya mengenal animisme dan dinamisme, percaya kalau Cerne telah berubah menjadi tetesan air langit itu. Merekapun menamakan rintikan air langit itu dengan nama sang puteri, Cerne. Gerimis.
Cerne dimakamkan di bukit tempat terakhir kali ia menghembuskan napas. Sang prajurit sengaja membuat sebuah patung wanita bersayap yang terbaring diatas makamnya. Cara terbaringnya dibuat sama persis seperti saat Cerne meninggal diatas tubuhnya kala itu. Ia juga menulis ulang surat terakhir Cerne diatas makam untuk mengenangnya.
Menurut cerita, sang prajurit selalu datang mengunjungi makam Cerne setiap kali gerimis turun. Seperti rakyat lainnya, ia percaya Cerne akan  turun ke bumi untuk menemuinya saat gerimis. Kebiasaan itu terus dilakukannya hingga rakyat setempat secara tidak sengaja menemukan jasadnya terbujur kaku disamping makam wanita yang dicintainya itu.
Sang prajurit meninggal diusianya yang ke delapan puluh tahun. Rakyat percaya kalau roh sang prajurit juga berubah menjadi rintikan air langit. Karena saat hari ia wafat, langit menurunkan begitu banyak air, deras. Dan lagi-lagi ini merupakan hal baru bagi mereka.
Mereka percaya roh sang prajurit telah menyatu dengan roh puteri Cerne sehingga gerimis yang turun dua kali lipat lebih deras. Merekapun menamakan fenomena alam itu dengan menggunakan nama sang prajurit, Pluoa, yang biasa kita kenal dengan sebutan hujan. Akhirnya, cinta puteri Cerne dan sang prajurit pun disatukan kembali dalam Pluoa-hujan.


Kakek bilang, jika menampung air gerimis dengan telapak tangan lalu menyebutkan nama Cerne-Pluoa disambung dengan mengucapkan nama orang yang kita cintai sambil membayangkan wajah orang yang kita cintai itu, kemudian meniupkannya pada air gerimis dan meminumnya, maka perasaan cinta kita untuk yang orang yang kita cintai akan terjaga dan bersatu dikemudian hari. Aku sering melakukan hal itu saat masih kecil. Aku selalu menanti kapan gerimis datang. Ingin rasanya bisa melihat Cerne dan Pluoa turun dari langit. Ah…aku ingat, kalau tidak salah, kakek pernah menyebutkan,  jika ingin melihat Cerne dan Pluoa. lihatlah pelangi.  Saat pelangi muncul itu akan menjadi saat dimana Cerne dan Pluoa kembali ke langit. Karena pelangilah yang menghubungkan bumi dengan langit, seolah itu adalah jembatan agar Cerne dan Pluoa bisa kembali ke langit. Hmm.. betapa beruntungnya aku, bila dikasih kesempatan untuk melihat pelangi.


Rara memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa tujuannya itu sekalipun tubuhnya harus kejatuhan gerimis. Toh, ini bukan hujan! Hanya gerimis! Tahu kan, g-e-r-i-m-i-s, pikirnya. Baru dua menit ia berjalan kaki dibawah gerimis, mengingat mitos tentang Cerne sambil membayangkan apa kiranya yang sedang Cerne lakukan saat ini, tiba-tiba… ‘Breeeeeeeeeeeeeeeessssssss’. “Weeewwww, kenapa begiiniiiiii…..Wuaaaaa….!!!”, teriaknya seketika. Ternyata ada satu hal yang ia lupa, ‘gerimis=cikal bakal terjadinya hujan’. Dan yap! Benar saja. Hujan. Tepatnya Hujan Derrrrrrrrrrrrrrrraaaaaaaaaaaaaasss.
Arrrgghh...Dereeeeeeeeeeeeeeeeeeeesssssssssssss buangettttt!!! weEwww..kenapa tiba-tiba jadi deres begini…huffff….! Buru-buru ia lepas jaket untuk membalut tasnya. Jaga-jaga takut laptopnya rusak karena kehujanan. Ia peluk erat-erat sambil berlari mencari tempat berteduh. Yah, tau gini, gue pake baju tebelan deh, bukan bahan ‘chiffon’ kayak gini! Ini mah, sama ajah berasa kayak dimandiin langit! Weewww…gue kuyup!! B-A-S-A-H K-U-Y-U-P!!
Beruntung ia temukan sebuah rumah makan padang tak jauh dari sana. Warung padang tepatnya. Tempatnya kecil, tapi kelihatannya cukup bersih. Ia putuskan untuk berteduh di depannya. Sebenarnya kalau ia mau, ia bisa saja berteduh didalam sambil memesan makanan, lagipula perutnya memang sudah memanggil-manggil dari tadi, minta diisi, dan penyakit maag-nya mulai kambuh, mungkin karena memang ia kurang makan ditambah ia baru saja kehujanan yang membuat tubuhnya basah kuyup dan membuat demamnya semakin tinggi. Tapi, ia lebih memilih untuk menahan sakitnya itu. Bukan karena ia tidak punya uang untuk membeli makanan disana, tapi karena memang ia sedang tidak ingin makan. Sama seperti dua hari sebelumnya. Malas makan.
Seorang ibu-ibu berpakaian gamis dengan corak bunga-bunga menghampirinya. Sepertinya ibu itu adalah pemilik warung padang tersebut. Ibu itu tersenyum padanya. “Sini, masuk! Neduh didalem! Badan sudah basah kuyup begitu!”, dengan logat padangnya yang khas.
Sepertinya ibu itu kasihan melihatnya mengigil. Tapi karena memang tidak berniat ingin makan, jadi ia menanggapi ajakan ibu itu dengan berterus terang. “Tapi bu, saya nggak mau mesen makanan”.
“Ya nggak apa-apa! Ibu cuma keingetan anak ibu sajo waktu ngeliat kamu tadi! Ayo, masuk! Jangan malu-malu!”, kata ibu itu sambil merangkul Rara masuk ke dalam warungnya. Ia lalu duduk di salah satu kursi kosong disana. Tak lama kemudian, ibu itu menyodorinya segelas teh hangat. Reflek ia langsung memandang wajah ibu itu. “Gratis..”, kata ibu itu sambil senyum.
Sebenarnya bukan karena Rara tidak mau bayar atau tidak mampu, tetapi saat itu ia hanya merasa bahwa ibu itu terlalu baik padanya, terlebih lagi mengingat bahwa ini kali pertamanya mereka bertemu, mereka bahkan tidak saling mengenal. Ia benar-benar salut pada ibu itu, ternyata di zaman yang seperti ini masih ada saja orang ramah seperti itu, walaupun itu hanya sebatas tempat berteduh dan segelas air teh. Tapi semua hal sederhana itu sudah cukup untuk membuka matanya bahwa keramah-tamahan ciri khas penduduk Indonesia yang sejak dulu dibangga-banggakan dari zaman Indonesia dijajah bangsa asing hingga sekarang saat Indonesia dijajah oleh bangsanya sendiri, ternyata keramah-tamahannya masih terjaga. Yah, minimal masih ada walaupun sudah meluntur.
“Terimakasih, Bu!”, ia tersenyum.
 “Iya, lumayan buat ngangetin badan kamu yang basah kuyup itu! Kamu sudah makan belum? Basah kuyup begini kalo kamu belum makan bisa masuk angin nanti!”
“Udah, kok Bu! Terimakasih”, ia terpaksa bohong.
“Tunggu sebentar yah!”, kata ibu itu lagi.
Tak lama kemudian ia menghampiri Rara lagi, membawa sepiring martabak keju yang masih terlihat hangat. “Ini, kamu makan dulu! Tadi kebetulan ibu dikasih martabak sama orang, tapi sayangnya ibu nggak suka keju, jadi daripada maubazir, kamu makan saja yah!”. “Gratiiisss”, lagi-lagi kata ibu itu dengan senyumnya yang ramah.
“Makasih yah Bu, saya jadi nggak enak! Hehe..”
“Ya, sudah kalau begitu, ibu tinggal dulu.”
Rara mengangguk. Senyum.

(to be continue - read: ch.III part 2)

No comments:

Post a Comment