ABOUT

ABOUT

Thursday, November 18, 2010

KLR - ch.2 (PUZZLE)


Kertas Lecek Rara - Chapter II

2
Puzzle


Ia remas foto yang sedari tadi ia pandangi terus pada lima menit terakhir. Foto terbaiknya saat masih bersama Satya. Senyum mereka tampak lepas dalam selembar kertas berukuran 4R itu.
Sejak pernyataan putus itu, ia lebih memilih untuk mengunci diri dikamar. Menghabiskan banyak waktunya disana, tanpa melakukan sesuatu hal yang berarti. Jika hari itu ia lepas pria yang dikasihinya dengan senyum, mungkin itu karena ia memang tidak ingin terlihat lemah. Setidaknya dihadapan pria yang telah mengkhianatinya itu. Meskipun begitu, ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan orang yang ia sayangi. Ia cintai. Ia belum siap menerima kenyataan bahwa ia harus merelakan Satya. Terlebih lagi hal itu dikarenakan adanya pihak ketiga dan sampai saat ini wanita itu bahkan masih belum tahu siapa orangnya atau mungkin lebih tepatnya ia memang sengaja tidak ingin mencari tahu. Toh, kalaupun ia tahu siapa orangnya, tidak akan merubah kenyataan bahwa Satya lebih memilih orang itu daripada dirinya.
Depresi. Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi padanya saat ini. Sudah dua hari ia seperti ini. Kurang tidur. Dalam waktu sehari ia mungkin hanya memejamkan mata paling lama dua jam. Itu lebih terdengar seperti tertidur daripada tidur itu sendiri. Dua jam istirahatnya itupun masih harus terganggu dengan mimpi buruk. Mungkin sakit hatinya terlalu dalam hingga mengakar pada alam bawah sadarnya.
Wajahnya pucat. Kantung matanya menghitam. Mungkin karena ia kurang tidur. Ditambah memang sudah dua hari ini perutnya tidak kemasukan nasi. Seolah nafsu makannya ikut hilang bersama berlalunya peristiwa pahit itu.
Dalam sehari mungkin ia hanya mengisi perutnya dengan selembar roti atau air putih dipagi hari. Ia lebih memilih untuk tetap mengosongkannya hingga malam dan lebih sering meneguk beberapa gelas air putih.  Bukan karena ia sedang menjalani diet ketat. Tidak. Hanya saja ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan dirinya sendiri. Kesehatannya. Bahkan penyakit maag-nya saja yang bisa dibilang sudah cukup parah, tidak ia pedulikan. Menurutnya rasa sakit karena maag, masih belum ada apa-apanya bila dibandingkan rasa sakit yang dideritanya sepeninggalan Satya. Cinta yang ditanamkan Satya dalam hatinya begitu besar. Begitu dalam. Hingga saat cinta itu tak lagi pada tempatnya, menjadi terasa hampa. Menyisakan lubang yang besar dihati.

Ia mengambil secarik kertas. Ia tekukan kakinya. Menjadikan kedua lututnya sebagai alas untuknya menulis. Matanya masih sembab membengkak. Sepertinya ia sudah terlalu banyak menangis, karena bisa dilihat tabung tempat sampah dikamarnya dipenuhi dengan tumpukan tissue yang menggumpal. Ia mulai menulis seperti biasanya. Tidak seperti orang kebanyakan yang lebih suka menulis dalam sebuah buku atau semacam diary, ia lebih suka menuliskan apa yang ada dikepalanya pada secarik kertas. Sebenarnya, tidak ada alasan khusus untuk itu, ia hanya lebih menyukai sesuatu hal yang tidak merepotkan. Menurutnya, bila menulis dengan buku atau diary ia harus membawa buku atau diary itu kemanapun ia pergi, karena memang tidak ada yang pernah bisa menebak kapan hasrat menulisnya datang, dengan begitu secara tidak langsung jika ia menggunakan buku atau diary sebagai arsip untuk mengabadikan tulisan-tulisannya berarti buku atau diary-nya itu harus siap sedia dan selalu ada bersamanya, dan menurutnya itu sedikit merepotkan. Tidak praktis. Maka ia lebih senang menuangkan buah pikirnya dalam secarik kertas.

Sebuah headphone melekat ditelingaku,  “…dan bila mentari esok kan bersinar lagi, kuingin candamu warnai hariku. Dan bila esok kau tiada hadir temaniku, tak terbayangkan setengah mati kehilanganmu”.

Manja. Aku masih menyukai lagu itu. Dan hingga detik ini, saat aku lebih memilih untuk mengunci bibirku rapat-rapat, hanya dengan mendengarnya saja sudah membuat mataku tergenang. Basah.

Sebuah kotak. Tertulis kata ‘puzzle’ disampulnya. Aku tidak tahu gambar apa yang akan terbentuk dari tiap kepingnya nanti. Satu demi satu kepingan itu kususun. Aku begitu menikmati  tiap luapan emosi yang tercipta saat satu demi satu kepingan itu digabungkan.

Tiap keping memiliki ceritanya sendiri.  Dan cerita itu akan selamanya melekat disana bersama luapan emosi kala kepingan itu mulai diletakan. Aku bisa melihat secara garis besar gambar apa yang tersusun dari kepingan-kepingan itu (akhirnya). Aku melipat kedua tanganku, merapatkannya ke dada, sedang mata menjama bidang susunan puzzle.

Lalu…
Aku merasa…
‘hampa’, sesudahnya.

Aku merasa belum utuh.
Terasa seperti ada yang kurang.
Mungkin ada sekeping potongan gambar yang lupa kuletakkan, namun entah dimana.
Aku tak dapat menemukannya.

Kini aku hanya merasa,
 “hampir”.
------------------------------------------------------------------------------------------
*hidup itu seperti puzzle. Satuan waktu dan peristiwa-peristiwa didalamnyalah yang akan membentuk akhir cerita hidupmu kelak..

haHHhhhhhhhhh….
“aku masih merasa
……………………………………………belum utuh!”. 

Rara - 02.00, Jakarta.



Rara kembali terdiam. Ditaruhnya kertas yang tak lagi kosong itu dilantai. Ia lemparkan pandangannya keluar jendela. Matanya menerawang. Entah dimana pikirannya saat ini. Tak lama kemudian ia pungut kertas yang baru saja ia tulisi tadi dan memasukkannya ke dalam sebuah box. Box  persegi panjang, berukuran sebesar dus sepatu. Ia biasa menaruh semua hasil buah pikirnya didalam kotak berwarna ungu itu.
Ia pandangi tiap sudut kamarnya. Ungu. Begitu cintanya ia dengan warna ungu, hingga kamarnya sengaja dirancang sedemikian rupa dengan kombinasi warna ungu yang begitu kental. Wallpaper ungu, lemari ungu, tempat tidur ungu, tirai ungu, semua didominasi dengan warna ungu, bahkan sampai pernak-pernik terkecilnya sekalipun. Semua ungu.
Ia masih memandangi isi kamarnya. Dan yang ia lihat hanya Satya, Satya dan….Satya. Boneka-boneka dari Satya, foto-foto Satya, bunga mawar dari Satya yang masih ia simpan sekalipun sudah kering, syal dari Satya, dan lain sebagainya. Satya, Satya dan Satya. Terlalu banyak hal yang dapat membuatnya selalu teringat akan Satya. Dan semakin ia teringat olehnya, semakin terasa sakit rasanya, hingga napas mendadak sesak. Memang sejak peristiwa itu, kondisi kesehatannya menurun drastis, terlebih lagi dengan pola makannya yang buruk itu, membuat tubuhnya semakin melemah.
Ia mulai merasa pusing. Disentuhnya keningnya itu. Panas. Rasanya kedua kaki sudah tak lagi mampu menopang tubuh dan pandangan mata mulai mengabur seolah apa yang dilihatnya menjadi berbayang. Ia berusaha berjalan ke arah tempat tidur. Ia sadar napasnya kian terasa sesak. Dan….

.....Bruuuukkkk!


Ia sudah tak sadarkan diri.

*******

2 comments:

  1. rara kamu nice bgt siiih hehehehee..

    ReplyDelete
  2. ceritanya bagus, bagus banget sebenernya. tapi kok gw ngerasa ada yg aneh di struktur kata2nya yah? ada suatu saat dimana lu tll berlebih menggambarkan 'Ia". dan disisi lain semua yg terjadi disekitar 'Ia' jadi ngga penting. memang bermaksud spt itu? maaf cuma pendapat

    ReplyDelete